Rabu, 17 Maret 2010

KANG POKADI


Waktu itu, siapa yang nggak kenal Kang Pokadi. Warokan reyog Ludiro Seto,kelahiran laladan Tanjung Kismantoro. Gagah prakosa, dibacok mendat, dipenthung mentul, brangasan, tak kenal sapa siro sapa ingsun. Bahasane Si Pitung, Pendekar Betawi yang selalu berkalung sarung,"Lu jual gua beli!!". Setan gur dipakai panganan, demit ora wani ndulit. Ya itulah Kang Pokadi. Tokoh sentral episode kali ini. Konon kabarnya, pada saat rame-ramene gegeran reformasi tahun 1997, Kang Pokadi menjadi penjarah yang paling handal. Semua pakaryan yang bermodal keringat serentak dipending Kang Pokadi. Sampai-sampai borongan finishing sepuluh rumah di perumahan Cempaka Gading ditolak mentah-mentah. Lha bagaimana tidak!? Kok mikir mborong finishing rumah. Cukup modal ati teteg, weteng wareg berangkat tangan kosong, pulang tinggal mau nari ambil apa.. Penak to!!. Lemari, kulkas, tipi, VCD, pakaian merek Da Vinci yang katanya dari Itali, atau tas merek Gucci yang harganya cuma dalam mimpi... semua tersedia geleh-geleh di depan mata. Ambil!! lari...!! Beeres Dah!! Makanya tidak heran masa gegeran reformasi merupakan rejeki yang, bagi Kang Pokadi, diharapkan selalu terulang kembali.

Pasca gegeran mudiklah Kang Pokadi ke bumi tanah kelahiran. Tentu saja penampilan jelas manglingi. Celana setrikaan, mlithit, garisnya tajam layaknya pisau Mbah Tum yang senantiasa dipakai khusus ngiris telenan juadah orang punya kerja. Pun bajunya tak kalah sama mulusnya. Aromanya..? Waah yang satu ini jangan tanya! Ya jelas kesan pertama sangat menggoda dan selanjutnya terserah anda!(Walah-walah... Kok kayak iklan wae). Tapi itu betul lho?? Sumpah saya yang nulis, nembus arisan tanpa bayar! Wong waktu itu anaknya Pak Pala sampai kedanan sama penampilan Kang Pokadi. Kurang apa coba anaknya Pak Pala ini! Luna Maya yang jadi idola sekarang pun tak cukup untuk menggambarkan kecantikan si kembang desa ini. Apa?... Miyabi??...Walah bintang tak bermoral itu!!! Jelas lewattt. Rak nok papane! Jika digambarkan, Kembang Desa anaknya Pak pala ini jelas perpaduan antara kecerdasan Agnes Monica, kelembutan Lulu Tobing, keanggunan Dewi Kunthi... Pokoke sulit menggambarkannya. Yang jelas, sanguuatt cuuaanntik tuitik. Nah inilah yang mengundang curiga banyak orang terhadap kang Pokadi. Wong semua nom-noman pada mimpi dapat istri si Kembang Desa ini, wong semua tetuwa pada punya idaman dapat menantu kayak anaknya Pak Pala ini, lha kok Kang Pokadi kelihatannya tidak ngglape sama sekali. Jelas ini diluar logika berpikir kanoman dan kamituwa pada waktu itu. Terus yang dicari Kang Pokadi itu cewek yang bagaimana coba?! Bingung khan!! Tapi tidak bagi Kang Pokadi.

Penampilan Kang Pokadi yang makin klimis dan preden bukan tanpa maksud. Biasalah ada sesuatu yang tak mungkin diceriterakan Kang Pokadi pada sembarang orang. Kenapa? Ya jelas memalukan to? Mosok Warokan reog yang beling saja cuma buat camilan kok cerita tentang broken heart!? Apa ndak malu coba! Wong lanang gagah prakosa otot kawat balung wesi kok patah hati..! Sorry la yauww. Namun itulah Kang Pokadi! dibalik penampilan waroknya, dibalik penampilannya yang klimis dan preden, ternyata menyimpan kelembutan cinta yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Tidak ada orang yang mengetahui kisah ini. Kang Pokadi menyimpan di relung hatinya yang paling dalam. Ia hanya berharap orang yang selama ini menggayuti mimpi-mimpinya setiap malam dapat membaca kerinduan yang telah puluhan tahun dirasakannya, bahkan semenjak lulus dari bangku SD dulu. Tidak jarang untuk mengobati rasa yang makin tak terkira ini Kang Pokadi harus mengeluarkan sepotong photo hitam putih yang di ujung bawah sebelah kiri telah tertandai tulisan bekas cap sekolahnya dulu. Photo itu begitu mungil. Kang Pokadi harus mengeluarkannya di saat sendiri, secara sembunyi-sembunyi, rasa sendiri dan sunyi itulah yang mampu menemani cerita kerinduan hati Kang Pokadi. Begitu dalamnya kang Pokadi menatap kesejukan dalam photo hingga pernah suatu kali salah satu teman buruhnya di Jakarta yang mencoba guyonan dengan Kang Pokadi, usil pengin mengetahui pujaan hati Kang Pokadi, harus babak belur akibat kemarahan Kang Pokadi.

Dalam kesendirian dan kesunyian menatap Photo itulah bayangan Kang Pokadi senantiasa melayang ke masa tiga belas tahun silam, saat ia kelas 6. waktu itu jelas, mbelingnya luwih ukur, nakalnya selalu top scorer. Gurunya sendiri sudah jenuh ngandhani Kang Pokadi kecil ini. Gurunya hanya berharap Kang Pokadi kecil segera lulus dan selesai sudah problem maker ini buat kericuhan di sekolah. Anehnya, jika gurunya nyadari, Kang Pokadi kecil ini nurutnya sama Gemi jan luar biasa betul. Gemi, gadis kecil berambut dua kepang, anaknya janda Suminah, penjual gorengan tempe pasar klitik tiap hari Pahing dan Kliwon, memang cerdas dan memiliki keteduhan pada pandang matanya. Kebetulan Gemi merupakan ketua kelas berjenis kelamin perempuan satu-satunya di SD Kedawung. Itu hasil demokrasi yang betul-betul murni, bukan demokrasi ala DPR RI yang cuma diwarnai lobby-lobby. terpilihnya Gemi sebagai ketua kelas merupakan hasil aklamasi. Hebat kan! Dan di kelas yang diketuai Srikandi inilah Kang Pokadi kecil duduk manis di meja sebelah belakang Gemi.

Suatu hari pernah kang Pokadi kecil tidak melaksanakan piket kelas. Akibatnya waktu guru masuk, kelas masih amburadul. Beberapa sampah masih berserak di depan kelas, papan tulis masih tersisa coretan pelajaran hari kemarin, meja guru pun masih menyisakan lapisan debu. Pak Guru jelas marah, dan tumpuan pertama adalah ketua kelas, ya si Srikandi Gemi itu. Maka serangkaian hukuman pun ditimpakan pada ketua kelas atas nama kelas. Untunglah beban hukuman itu dapat dilakoni pada saat istirahat dengan bantuan anak-anak yang lain kecuali Kang Pokadi kecil tentunya. Pokadi lebih memilih intervensi di kelas lain, biasa membuat usil. Toh tak ada seorang pun anak yang berani melawan Pokadi.
Usai bel masuk istirahat, Gemi dipanggil menghadap gurunya di kantor guru. Tanpa sepengetahuan Gemi, ternyata siswa yang lain menggalang kepedulian untuk melawan kesewenang-wenangan pokadi. Ketika Gemi mendapatkan BP di Kantor, di kelas 6 ketangguhan Pokadi ternyata harus porak poranda melawan 32 siswa yang serempak melawannya terang-terangan. Hancur sudah keperkasaan Pokadi. Beberapa pukulan dan cubitan menghiasinya hingga Gemi masuk kembali ke kelas. Gemi tidak tahu telah terjadi kudeta terhadap kenakalan Pokadi. Gemi hanya tahu setelah tugas pemberian guru selesai dan siswa bersiap pulang, dilihatnya Pokadi masih menelungkupkan wajahnya di atas meja. Bahkan sampai kelas telah sepi, Pokadi masih belum juga beranjak mengangkat wajahnya.
Gemi masih setia menunggui bagian tanggung jawabnya sebagai ketua kelas, tanpa disadari oleh Pokadi. Gemi hanya diam. Sesekali matanya memandang Pokadi atau kembali menyusuri buku bacaan untuk membuang sepi.

Pokadi dalam diamnya sungguh malu diri. Tidak disangkanya kenakalan yang selama ini ia lakoni harus berakhir tragis. Dikeroyok teman sendiri! Satu kelas lagi!!!

Ketika menyadari kelas sepi, Pokadi ingin segera pulang. Yang dilihatnya pertama adalah kepang dua, yang serentak juga menoleh. Pokadi hanya melihat mata hitam bening yang teduh. Tidak ada kemarahan. Tidak ada penyesalan telah menungguinya. Pokadi kecil sungguh tidak menyadari sejak dulu bahwa mata itu begitu teduh. Mata itu mengingatkan pada ibunya saat ia kena pukul bapak akibat kenakalannya. Mata yang selalu menaungi dan meneduhinya. Seketika Pokadi teringat, mata itu terlihat terakhir kali pada saat ia kelas 3. Waktu itu keteduhan mata itu telah makin memudar. Pokadi hanya ingat pemilik mata itu berpesan agar Pokadi tidak nakal, dan tidak menyusahkan bapaknya lagi. Tiba-tiba kerinduannya pada Ibu demikian menyeruak. Tanpa sadar air mata Pokadi menetes. Pokadi sangat ingin berada dalam pelukan ibunya. Pokadi ingin rengkuhan ibunya yang senantiasa memberikan rasa aman dan nyaman bagi dirinya. Pokadi ingin ibunya..... Pokadi hanya tahu, sesaat setelah mata ibunya memudar orang-orang berkerumun dan ibunya tidak pernah bertemu selamanya. Mata yang teduh itu telah meninggalkan untuk selamanya. Dan kini... Di depannya, Pokadi melihat kembali mata itu. Tapi itu bukan ibunya. Bukan orang yang senantiasa merengkuh dan menanunginya. Bukan orang yang mengelusnya di kala ia digebug bapaknya. Bukan! Tidak masalah bagi Pokadi.... Keteduhan dan kebeningan mata si kepang dua paling tidak telah mengingatkan kembali janji Pokadi kepada ibunya.

Sejak itulah, pandangan mata itu selalu mengingatkan Pokadi untuk tidak nakal lagi. Gemi pun tidak menyadari bahwa matanya mengandung kekuatan sihir yang mampu menaklukan si nakal Pokadi. Gemi hanya tahu setiap ia memandang Pokadi, Pokadi seakan telah mengerti tidak boleh menyusahkan kelas lagi, tidak boleh menyusahkan anak-anak yang lain lagi...

Ketika lulus, hanya satu keinginan Pokadi untuk selalu menatap mata bening itu lagi. Ia akan mengikuti ayahnya untuk buruh di Jakarta, dan mata bening itu tak mungkin ia temui. Maka ketika semua siswa larut dalam gembira pesta kelulusan, diam-diam Pokadi menyelinap ke meja Gemi. Dibukanya raport nilai Gemi dengan hati-hati.
Dan siangnya, Gemi masih terheran-heran, mengapa rapotrnya tak lagi tertempeli photo hitam putih dirinya.

Itulah rahasia kecil Kang Pokadi. Tidak ada yang tahu. Tidak juga Kembang Desa anak Pak Pala.

Kini tiga belas tahun sudah. Pokadi mangru. Masih sendirikah mata bening itu? Informasi tentang mata bening nyaris tidak dapat ia peroleh sama sekali. Ya gengsi to!! Di Jakarta, Pokadi nyaris tidak pernah bersentuhan dengan cewek sama sekali. Setiap kali memandang photo kecil itu Pokadi sadar, Tuhan semoga menggariskan takdir untuknya. Bahkan untuk anak rantauan ibu kota, Kang Pokadi jelas mleset dari kudangan nomnoman. Apakah anda percaya bahwa Kang Pokadi masih perjaka thing-thing...?? Thing asli bukan hanya thing-thingan. Aneh kan! Tapi itulah kang Pokadi. Kepiwaiannya jadi warok dan tukang ngreyog tidak lantas menghapus mata bening yang teduh itu. Tidak!! Telah tiga belas tahun Pokadi menahan kerinduan pada mata bening itu dan Ia ingin menemuinya, jika mungkin meminangnya, dan thing-thing itulah salah satu bentuk keniscayaan yang akan dipersembahkan pada si mata bening teduh itu. Thing-thing sebagai wujud kesetiaan dan pertanggungjawaban kekerasan hasrat untuk bersama.

Dan itulah Kang Pokadi yang kemudian berhasil meminang Gemi melalui group dangdut Putra Asmara, pimpinan Bang Nomri. Danpada saat banjir menjilat lingkungannya, lahirlah si buah hati.. Beno Putra Asmara, yang katanya Mbah Ulu bedhes cilik sing pintere ngadubilah, yen omong ora nggenah.

Dan kini meskipun Gemi hanya lulusan SMP, Pokadi hanya lulusan SD, keduanya dapat diterima untuk ngawulo di rumah Mbah Ulu. Bahkan diberi rumah inap sendiri di samping rumah induk Mbah ulu. Rumah kecil itu kini berisi Kang Pokadi, Simata teduh Gemi, dan bedhes cilik sing pintere ngadubilah, yen omong ora nggenah, Benu.

Kedua Orang itu merupakan karunia tidak terkira bagi Kang Pokadi. ia tidak paham apa itu keluarga sakinah, mawadah, warohmah. Yang ia tahu, si mata teduh Gemi senantiasa memandangnya dengan penuh sayang, dan si kecil Benu senantiasa mampu mengisi kesepiannya dengan keceriaan dan kenakalannya.

Jumat, 12 Maret 2010

YU CENIL


Bumi Kismantoro memang kaya potensi, Samubarang sing gumelar bisa paring panguripan. Orangnya kreatif melebihi lagunya Koes Plus, “Tongkat kayu ditanam jadi tanaman.” Bahkan athikan warganya melebihi semboyan, “Alam takambang menjadi guru”. Bukan hanya alam saja yang dapat dijadikan sarana untuk belajar, tapi empat arah mata angin, wolu pancer merupakan sumber belajar dan sumber inspirasi yang takkan pernah habis. Dan di bumi penuh athikan yang warganya kenyang ditempa pengalaman dengan alam itulah Yu Cenil lahir.

Yu Cenil lahir di Joho, Ndawung. Anak kedelapan bagian dari dari empat laki-laki dan enam perempuan. Seperti saudaranya, Yu Cenil dikaruniai kulit kuning langsat dengan tinggi badan semampai. Sinar matanya redup dan menyejukkan, namun jika bersinar menumbuhkan gairah orang yang memandangnya. Bibirnya, mirip-mirip punya Jupe. Seksi. Jika tersenyum kita akan terkesima sejenak… dan jika senyumnya membuka tautan di antara dua bibirnya maka seleret sinar putih akan menyergap. Gigi Yu Cenil memang luar biasa. Mbah Ulu sendiri pernah mengungkapkan keheranannya mengapa Yu Cenil trima dodol bubur lemu, dan bukannya menjadi iklan pasta gigi.

Sejak kecil Yu Cenil, memang tampak kecil. Kata Mboke yang juga penjual jamu keliling di Pasar Dangkrang, Yu Cenil waktu bayi teramat mungil, saking mungilnya Cuma sak-cenil. Barangkali kata YS Badudu yang ahli bahasa itu, “Cuma noktah, titik.” Mungkin sebesar itulah Yu Cenil. Dan namanya pun cuma Cenil. Tak ada tambahan apapun. Hanya Cenil saja, titik.

Nama Cenil pernah merepotkan Mboke Cenil yang daftar Cenil ke SD. Gurunya, Pak Mun, yang merasa bahwa nama itu akan memberikan masalah pada Cenil di kemudian hari, menasehati mboke Cenil,” Yu, Namanya apa ya cuma Cenil begini? Kasihan nanti kalau sudah besar. Putra panjenengan itu cantik, lihat saja!! Kulitnya bersih, matanya kelihatan cerdas, bahkan kelihatan memiliki IQ tinggi, giginya putih, masak namanya Cenil?!!”
Mboke Cenil jelas bingung, “Lha apa salahnya to nama Cenil, Tak kasih nama yang panjang misalnya Tri Susuki Yamaha Hondawati, atau Srikandi Mangayu Buana rahayuningtyas, toh anaknya tidak bertambah panjang ya tetap saja sak Cenil. Jadi apa to salahya nama Cenil,” Mboke Cenil cuma mbatin saja, tidak berani mengungkapkannya pada Pak Guru Mun. Paling tidak, nama Cenil tidak repot waktu manggil untuk bantu-bantu ngrajang jamu, cukup teriak,” Niiiiiiiiiiiiiiiiiiillllllllll, Ceniiiiiiiiiiiiiiiiillllllllll…” Nah, praktis khan.!!

“Begini Lho Yu!! Nama itu anugerah. Kanjeng Nabi Muhammad SAW Junjungan kita menganjurkan umatnya untuk memberikan nama pada anak-anaknya, tidak asal memberi nama, Kanjeng Nabi bersabda, Barang siapa memanggil dirinya oleh selain ayahnya nama (atau atribut dirinya kepada seseorang selain ayahnya), akan dikutuk oleh Allah, para malaikat dan semua orang.”
Mboke Cenil hanya bisa manggut. Entah mudheng atau Cuma pekewuh saja sama Pak Guru Mun. Mboke Cenil jadi ingat suaminya yang telah meninggal dua tahun yang lalu. Suaminya memang tidak protes ketika ia berinisiatif memberikan nama Cenil. Suaminya hanya diam. Tapi begitulah suaminya, diam adalah emas. Jadi nama Cenil telah secara langsung mendapatkan rekomendasi dari suaminya. Dan itu berarti barangkali Sabda Kanjeng Nabi tersebut tidak berlaku untuk anaknya.
Pripun, Yu?!”
Mboke Cenil tergagap sadar, bayangan suaminya terkabur bersama kekagetannya.
Panjenengan mantap menamai anaknya dengan Cenil atau barangkali panjenengan mau ngubah nama Cenil? Ini tidak harus lho Yu! Hanya barangkali panjenengan memiliki pertimbangan panjang untuk nama anak panjenengan nanti, atau paling tidak nanti waktu anak panjenengan kelas lima, kalau mau ganti nama itulah saatnya, agar waktu kelas enam dan lulus ijazahnya telah tertulis dengan nama yang baru.”
“Iya…Iya!! Pak Guru. Enggih..Inggih leres!” Mboke Cenil sekedar menjawab. Tidak tahu maksud ucapan Pak Guru Mun. Nggagas Ijazah!, Sekolah saja Mboke Cenil Cuma sampai kelas I. Baru mulai bisa i-ni- i- bu – di sudah drop out karena harus bantu nyari rumput untuk kambingnya yang telah memenuhi kandang.

Mboke Cenil pulang masih grenengan. Anak-anaknya toh tidak pernah punya masalah dengan nama. Yang mbarep namanya Sabin, maklum hampir saja lair di sawah, untung saja Bu Bidan Tanjung pas itu baru saja ngimumisasi balita, jadi Sabin terlahir dengan selamat. Anaknya kedua bernama Yatno, itulah nama satu-satunya pemberian suaminya. Riwayat nama itu baru diketahui setelah kondangan karotengah tahun kelahiran Yatno. Konon saat mbobot sangang sasi, suaminya jagong melekan sesukan di rumah Pak Lurah Kikis yang lagi menikahkan anaknya. Kebiasaan sesukan melekan adalah main kartu ceki, kartu china warna ijo, yang menjadi permainan judi favorit waktu itu. Nah ceritanya pas suaminya dapat giliran yat, mengambil kartu, tiba-tiba mak bedunduk, adik suaminya telah njedul di ambang pintu sembari memanggil suaminya, “Kang! Kang!... Mbakyu babaran…!!”
Suaminya tidak terkejut. Dengan tenang dia menyuruh adiknya untuk menggantikannya meneruskan bermain ceki. “ Lanjutkan saja!.. Yat no dhisik ya…Wancine ngambil kertu, paling sebentar lagi trek terus bong. Tak tinggal dulu ngurusi mbakyumu.”
Itulah kemudian Yatno (mungkin maksud suaminya kesempatan mengambil kertu) dilekatkan pada nama anaknya yang kedua. Tapi toh ada hikmahnya juga. Setelah Mboke Cenil tahu kisah nama anak keduanya, marahnya bukan main. Bukan karena nama anaknya Yatno, tetapi karena masih saja suaminya suka sesungaran main ceki, pantesan tiap kali jualan jagung hasil panen kok harganya selalu lebih rendah dari harga umum yang didengarnya. Pasti sebagian uangnya diunthit suaminya untuk main ceki. Dan gara-gara ngunthit uang jualan jagung tersebut, Mboke Cenil ngundhat-undat suaminya, yang berakhir dengan janji suaminya untuk tidak bermain kartu ceki lagi. sejak itu sampai kini, suaminya memang telah benar betul terbebas dari kebiasaan sesungaran main ceki.

Dan kini Mboke Cenil masih gerenengan juga, tidak ada satu pun nama anaknya yang bermasalah, Sabin, Yatno, Kuntet, Undhuh, Ganti, landhep, Warto, dan Cenil, semuanya baik-baik saja. Malah yang repot Pak Guru Mun. Apa to susahnya nulis Cenil!!! Kan lebih mudah ketimbang harus nulis nama yang panjang.

Cenil tumbuh jadi anak yang cerdas, bahkan sewaktu kelas 5 pernah menjadi juara lomba bidang studi matematika untuk tingkat kecamatan. Dan yang mengejutkan, pertumbuhan Cenil ternyata tidak sesuai dengan namanya. Saat masuk kelas enam bahkan Cenil merupakan perempuan tertinggi kedua di kelas setelah Dwi Septiana. Tetapi prestasinya pertama disusul Dwi Septiana. Sayangnya, Mboke Cenil lupa apa yang dipesankan Pak Guru Mun tentang nama anaknya. Hingga kelas enam bahkan Mboke Cenil tak kunjung mengganti nama, sehingga pada Surat Tanda Tamat Belajar anaknya tertulis C E N I L. Hanya itu tidak ada yang lain.