Jumat, 12 Maret 2010

YU CENIL


Bumi Kismantoro memang kaya potensi, Samubarang sing gumelar bisa paring panguripan. Orangnya kreatif melebihi lagunya Koes Plus, “Tongkat kayu ditanam jadi tanaman.” Bahkan athikan warganya melebihi semboyan, “Alam takambang menjadi guru”. Bukan hanya alam saja yang dapat dijadikan sarana untuk belajar, tapi empat arah mata angin, wolu pancer merupakan sumber belajar dan sumber inspirasi yang takkan pernah habis. Dan di bumi penuh athikan yang warganya kenyang ditempa pengalaman dengan alam itulah Yu Cenil lahir.

Yu Cenil lahir di Joho, Ndawung. Anak kedelapan bagian dari dari empat laki-laki dan enam perempuan. Seperti saudaranya, Yu Cenil dikaruniai kulit kuning langsat dengan tinggi badan semampai. Sinar matanya redup dan menyejukkan, namun jika bersinar menumbuhkan gairah orang yang memandangnya. Bibirnya, mirip-mirip punya Jupe. Seksi. Jika tersenyum kita akan terkesima sejenak… dan jika senyumnya membuka tautan di antara dua bibirnya maka seleret sinar putih akan menyergap. Gigi Yu Cenil memang luar biasa. Mbah Ulu sendiri pernah mengungkapkan keheranannya mengapa Yu Cenil trima dodol bubur lemu, dan bukannya menjadi iklan pasta gigi.

Sejak kecil Yu Cenil, memang tampak kecil. Kata Mboke yang juga penjual jamu keliling di Pasar Dangkrang, Yu Cenil waktu bayi teramat mungil, saking mungilnya Cuma sak-cenil. Barangkali kata YS Badudu yang ahli bahasa itu, “Cuma noktah, titik.” Mungkin sebesar itulah Yu Cenil. Dan namanya pun cuma Cenil. Tak ada tambahan apapun. Hanya Cenil saja, titik.

Nama Cenil pernah merepotkan Mboke Cenil yang daftar Cenil ke SD. Gurunya, Pak Mun, yang merasa bahwa nama itu akan memberikan masalah pada Cenil di kemudian hari, menasehati mboke Cenil,” Yu, Namanya apa ya cuma Cenil begini? Kasihan nanti kalau sudah besar. Putra panjenengan itu cantik, lihat saja!! Kulitnya bersih, matanya kelihatan cerdas, bahkan kelihatan memiliki IQ tinggi, giginya putih, masak namanya Cenil?!!”
Mboke Cenil jelas bingung, “Lha apa salahnya to nama Cenil, Tak kasih nama yang panjang misalnya Tri Susuki Yamaha Hondawati, atau Srikandi Mangayu Buana rahayuningtyas, toh anaknya tidak bertambah panjang ya tetap saja sak Cenil. Jadi apa to salahya nama Cenil,” Mboke Cenil cuma mbatin saja, tidak berani mengungkapkannya pada Pak Guru Mun. Paling tidak, nama Cenil tidak repot waktu manggil untuk bantu-bantu ngrajang jamu, cukup teriak,” Niiiiiiiiiiiiiiiiiiillllllllll, Ceniiiiiiiiiiiiiiiiillllllllll…” Nah, praktis khan.!!

“Begini Lho Yu!! Nama itu anugerah. Kanjeng Nabi Muhammad SAW Junjungan kita menganjurkan umatnya untuk memberikan nama pada anak-anaknya, tidak asal memberi nama, Kanjeng Nabi bersabda, Barang siapa memanggil dirinya oleh selain ayahnya nama (atau atribut dirinya kepada seseorang selain ayahnya), akan dikutuk oleh Allah, para malaikat dan semua orang.”
Mboke Cenil hanya bisa manggut. Entah mudheng atau Cuma pekewuh saja sama Pak Guru Mun. Mboke Cenil jadi ingat suaminya yang telah meninggal dua tahun yang lalu. Suaminya memang tidak protes ketika ia berinisiatif memberikan nama Cenil. Suaminya hanya diam. Tapi begitulah suaminya, diam adalah emas. Jadi nama Cenil telah secara langsung mendapatkan rekomendasi dari suaminya. Dan itu berarti barangkali Sabda Kanjeng Nabi tersebut tidak berlaku untuk anaknya.
Pripun, Yu?!”
Mboke Cenil tergagap sadar, bayangan suaminya terkabur bersama kekagetannya.
Panjenengan mantap menamai anaknya dengan Cenil atau barangkali panjenengan mau ngubah nama Cenil? Ini tidak harus lho Yu! Hanya barangkali panjenengan memiliki pertimbangan panjang untuk nama anak panjenengan nanti, atau paling tidak nanti waktu anak panjenengan kelas lima, kalau mau ganti nama itulah saatnya, agar waktu kelas enam dan lulus ijazahnya telah tertulis dengan nama yang baru.”
“Iya…Iya!! Pak Guru. Enggih..Inggih leres!” Mboke Cenil sekedar menjawab. Tidak tahu maksud ucapan Pak Guru Mun. Nggagas Ijazah!, Sekolah saja Mboke Cenil Cuma sampai kelas I. Baru mulai bisa i-ni- i- bu – di sudah drop out karena harus bantu nyari rumput untuk kambingnya yang telah memenuhi kandang.

Mboke Cenil pulang masih grenengan. Anak-anaknya toh tidak pernah punya masalah dengan nama. Yang mbarep namanya Sabin, maklum hampir saja lair di sawah, untung saja Bu Bidan Tanjung pas itu baru saja ngimumisasi balita, jadi Sabin terlahir dengan selamat. Anaknya kedua bernama Yatno, itulah nama satu-satunya pemberian suaminya. Riwayat nama itu baru diketahui setelah kondangan karotengah tahun kelahiran Yatno. Konon saat mbobot sangang sasi, suaminya jagong melekan sesukan di rumah Pak Lurah Kikis yang lagi menikahkan anaknya. Kebiasaan sesukan melekan adalah main kartu ceki, kartu china warna ijo, yang menjadi permainan judi favorit waktu itu. Nah ceritanya pas suaminya dapat giliran yat, mengambil kartu, tiba-tiba mak bedunduk, adik suaminya telah njedul di ambang pintu sembari memanggil suaminya, “Kang! Kang!... Mbakyu babaran…!!”
Suaminya tidak terkejut. Dengan tenang dia menyuruh adiknya untuk menggantikannya meneruskan bermain ceki. “ Lanjutkan saja!.. Yat no dhisik ya…Wancine ngambil kertu, paling sebentar lagi trek terus bong. Tak tinggal dulu ngurusi mbakyumu.”
Itulah kemudian Yatno (mungkin maksud suaminya kesempatan mengambil kertu) dilekatkan pada nama anaknya yang kedua. Tapi toh ada hikmahnya juga. Setelah Mboke Cenil tahu kisah nama anak keduanya, marahnya bukan main. Bukan karena nama anaknya Yatno, tetapi karena masih saja suaminya suka sesungaran main ceki, pantesan tiap kali jualan jagung hasil panen kok harganya selalu lebih rendah dari harga umum yang didengarnya. Pasti sebagian uangnya diunthit suaminya untuk main ceki. Dan gara-gara ngunthit uang jualan jagung tersebut, Mboke Cenil ngundhat-undat suaminya, yang berakhir dengan janji suaminya untuk tidak bermain kartu ceki lagi. sejak itu sampai kini, suaminya memang telah benar betul terbebas dari kebiasaan sesungaran main ceki.

Dan kini Mboke Cenil masih gerenengan juga, tidak ada satu pun nama anaknya yang bermasalah, Sabin, Yatno, Kuntet, Undhuh, Ganti, landhep, Warto, dan Cenil, semuanya baik-baik saja. Malah yang repot Pak Guru Mun. Apa to susahnya nulis Cenil!!! Kan lebih mudah ketimbang harus nulis nama yang panjang.

Cenil tumbuh jadi anak yang cerdas, bahkan sewaktu kelas 5 pernah menjadi juara lomba bidang studi matematika untuk tingkat kecamatan. Dan yang mengejutkan, pertumbuhan Cenil ternyata tidak sesuai dengan namanya. Saat masuk kelas enam bahkan Cenil merupakan perempuan tertinggi kedua di kelas setelah Dwi Septiana. Tetapi prestasinya pertama disusul Dwi Septiana. Sayangnya, Mboke Cenil lupa apa yang dipesankan Pak Guru Mun tentang nama anaknya. Hingga kelas enam bahkan Mboke Cenil tak kunjung mengganti nama, sehingga pada Surat Tanda Tamat Belajar anaknya tertulis C E N I L. Hanya itu tidak ada yang lain.

1 komentar: