Kamis, 25 Februari 2010

MBAH ULU

Heran juga, wong yang namanya nama alias jeneng alias tetenger, memiliki makna yang esensial. Lha nggak gimana hayo...!!! Namaku untuk ukuran tahun 65-an termasuk luar biasa. Maklumlah masa itu semboyan what is name belum begitu akrab di telinga. Waktu itu mau akrab gimana? Lha wong musik ngak ngik ngok-nya Koes Plus saja bisa membuat Koes Plus masuk penjara. Dimaklumi, semboyan Shakespeare yang kondang itu ndak banyak dikenal orang. Paling tidak di Indonesia lah.

Nah balik lagi ke jeneng. Simbok dan Bapakku memberiku nama SUYANTO SUSASTRO. Hebat kan!!! Lho? Nggak hebat gimana? Wong orang pakai nama paling cuma dua suku kata, Gimin, Simis, Kiman, Tumon, Jani, Giyem, Kijan, Parno, Suro, sedangkan aku, su-yan-to-su-sas-tro. Ada 6 suku kata. Apa ndak hebat, to? Konon nama itu merupakan hasil perenungan Eyang Kakung pada Sasi Suro melalui tapa brata ngebleng selama tiga hari tiga malam tanpa makan dan tanpa kena cahaya. Ngebleng-nya baru berakhir ketika Eyang kakung mendapatkan wangsit berupa kicauan burung pada pukul 04.00 dini hari. Anehnya, menurut cerita simbok, kicauan burung itu terdengar seperti cu-ca-to-cucato-cucato, begitu terus berkali-kali. Bahasa burung itulah yang kemudian diterjemahkan oleh Eyang Kakung menjadi suyanto susatro. Lho ...Kok bisa? Ya jelas bisa, to!!! Ngilmu bahasa burung khan ngilmu langka yang tidak sembarang prang mampu menerima. Jadi bejo-lah Eyang kakung mampu menterjemahkan wangsit suara burung tersebut menjadi nama.

Menurut Eyang, Suyanto Susastro artinya kepiwaian bersastra, berlagu seni atau wasis ing sastro, mentas ing ukara. Makna ini jelas akan membuat Eyang Kakung marah kalau dibantah!!!. Misalnya, waktu Lik Jamin, tetangga Eyang kakung, bertanya dan mengkritisi makna yang disampaikan Eyang Kakung yang katanya sak karepe dewe, digawe-gawe amrih mathuke, sekedar ngepaske. Walah ... Eyang marah luar biasa. Katanya,"Jamin, kowe ki maunya apa!! Bayi wingi sore kok nranyak sama orang tua. Wewaler, angger-angger kok ora dianggep bener!! Gledhisan, ora nganggo waton. Tetenger itu wahyune Gusti. Lho??? Gusti kok mbok protes nganggo pikiranmu sing cupet mung sak upet. Apa nyandhak nalarmu, Le?!!! Wis kono ndang mulih kono terus ngarit-ngarit suket buat ngasih makan kambingmu itu!!! Celelekan!!! Klejingan karo wong tuwek!!!
Lik Jamin sudah ndrodhok dicelathu Eyang kakung seperti itu. Lha, awalnya sih sekedhar guyonan, nggak tahunya Eyang Kakung malah abang mawinga-winga. Tentu saja Lik Jamin cep klakep terus klepat pulang. Jika masih disitu, walah?! Ngalamat kuping bakal ndak kuat nampani dukane Eyang Kakung.

Nah itulah namaku. Setelah waktu bergulir aku menjadi guru SD. Pekerjaan itulah yang kemudian merubah namaku. Perlahan tapi pasti orang-orang mulai memanggilku Pak Guru. Dan mungkin beberapa orang di sekitarku bahkan tidak tahu siapa namaku yang sebenarnya.

Alih nama yang kualami ternyata tidak berakhir begitu saja. Menjelang usia senja, mendekati pensiun dari guru. Saya bersama istri yang hanya berduaan di rumah, maklum anak-anak sudah iber dewe-dewe, mengambil pembantu namanya Kang Pokadi, dengan syarat dia harus mau bertempat di bangunan samping rumah induk. Nah, disinilah bencana ini bermula, yang membuat namaku menjadi makin hilang dari peredaran. Kasihan Eyang kakung yang telah ngebleng tiga hari tiga malam untuk menamaiku harus kalah sama anak kecil yang bernama Benu, anaknya Kang Pokadi.

Benu, lima tahun, anak pertama dan anak satu-satunya Kang Pokadi dengan Yu Gemi. Bedhes cilik ini memang punya aikiyu luar biasa untuk ukuran cah ndeso. Lidahnya masih cedal sehingga belum bisa melafalkan beberapa huruf dengan benar. Beberapa kata bahkan hilang huruf awalnya akibat cedalnya Benu, kayu berubah ayu, lanang berubah anang, gula berubah ula... Wis pokoke kalau bicara sak geleme cedhale dhewe.
Benu yang montok dan nggemeske, kendel, memang nyenengke. Beberapa orang tetangga kanan kiri lebih mudah akrab dengan Benu dari pada dengan Kang Pokadi atau Yu Gemi. Tidak heran kata-kata Benu menjadi ikon yang kemudian ditirukan oleh nom-noman atau tetangga kanan kiri.

Cedalnya Benu itulah yang kemudian memberikan babak baru dalam perjalanan namaku. Biasalah, keberanian Benu mudah akrab denganku. Kang Pokadi dan Yu Gemi mbasakke Benu dengan memanggilku Mbah Guru. Mbah merujuk ke usia yang telah senja dan guru sebutan umum yang dipakai oleh orang sekitar rumah ketika menyapaku. Namun dasar Benu, Bedhes elek sing pintere ngadubillah, sing ora iso ngomong nggenah. Kecedalannya dengan jenaka selalu menyebut MBAH ULU jika memanggilku. Pertama panggilan itu kuanggap biasa saja. Maklum Benu, bedhes elek sing pinter ngadubillah nek omong ora nggenah. Apa to salahnya anak kecil memanggilku Mbah Ulu. Biasa to??? Tapi ternyata hal itu menjadi luar biasa ketika minggu pagi saya masih thenger-thenger dekat gapura rumah menunggu bubur lemu lewat buat sarapan.

Yu Cenil, penjual bubur lemu, yang masih sueger, montok dan ayu, Minggu itu agak terlambat tidak seperti biasanya. Ya jelas ini dimaklumi. Minggu khan hari untuk refresh jadi banyak yang lebih memilih jajan pagi sambil lari-lari daripada repot masak sendiri. Dari kejauhan, sak kledhangan Yu Cenil sudah kelihatan. Kulitnya yang mengkilap karena keringat seperti terpantul cahaya merah pagi hari. Lha tenan. Jalannya memang nggak bisa disangsikan lagi. Yu Cenil pancen kemayu. itulah sebabnya maka buburnya laris manis. Kuatir kalau kehabisan bubur lemu, karena Cu Cenil dibajak kanan kiri sebelum sampai tempatku thenger-thenger, maka kulambaikan tangan untuk segera memerintahkan Yu Cenil mempercepat langkah. Nah, respon Yu Cenil pancen maremke ati. melihat lambaian tanganku, pertama dia mesti mesem ngguyu. Giginya kok bisa putih cemlorot gitu, ya? Mestinya Yu Cenil ini jadi iklan odol saja daripada jualan bubur lemu.

"Badhe sarapan, Mbah Ulu?" sapanya setelah dekat.
Jelas saya kaget dengan sapaan Yu Cenil ini. Wong ora udan ora angin kok seenaknya saja nyeluk jenenge wong.
" Mbah Ulu sapa to, Nil? Mbahmu apa!!! Karo wong tuwek kok gledhisan! Lho, Kok malah mesam-mesem, to?"
"Lho, Mbah Ulu...."
"Kok, Mbah Ulu maneh to?"
" Nggih sepurane Mbah Ulu? Nggih ampun duka to!? Cenil khan cuma ikutan orang orang yang manggil Mbah Ulu."
Sak klebatan saya membayangkan Benu, Bedhes elek sing pinter ngadubillah nek omong ora nggenah. Teringat ketika Benu selalu memanggil Mbah Ulu akibat cedalnya. Bedhes Elek ini ternyata memberikan virus pada orang-orang untuk mengubah namaku. Wah! Wah wah!!! Jan Bedhes ora nggenah tenan!!
"Pripun Mbah Ulu? Jadi beli sarapan bubur lemu ndak?"
"Iya...Iya!! Bungkus saja. Biar nanti saya makan di dalam saja."

Sampai siang, bubur lemu itu masih terbungkus daun pisang. Perut rasanya jadi mbedhedheg ngrasakke percakapan dengan Yu Cenil pagi. Miling-miling kalau-kalau si Bedhes Elek Benu kelihatan ternyata tidak tampak batang hidungnya. Rencananya, boleh saja bubur lemu itu untuk Benu sambil diinterogasi sejauh mana virus namaku itu telah tersebar. Tak sabar akhirnya saya lebih condong untuk melakukan investigasi lagsung di lapangan. Ya, paling tidak kayak Pansus Bank Century yang investigasi ke lapangan sambil nglencer sana sini mesti hasilnya tak pasti. Sembari melenggang saya mencoba mendekati beberapa orang tetanggaku yang berada di pinggiran jalan.
"Tindak pundi, Mbah Ulu?" sapa kang Poni basa-basi.
Mak jenggirat!!! Kaget ati saya. Atase kang Poni ini kalau ketemu mundhuk-mundhuk ndak berani kocap karena waktu nggundhuh duren belakang rumah tanpa nembung alias maling setahun yang lalu, cuma tak suruh njual terus hasilnya untuk beli beras buat anak bojone, kok sekarang malah klethasan berani-beraninya manggil saya Mbah Ulu.... Tapi dada ini tetap tak sabar-sabarke.
Ternyata mak jenggirat saya harus terulang sepanjang investigasi siang itu. Jan !!! Sodron tenan si Benu, bedhes elek sing pinter ngadubillah nek omong ora nggenah. Kok bisa-bisanya anak sekecil itu menebarkan virus yang mengalahkan tapa ngebleng Eyang kakung tiga hari tiga malam... Hasil investigasi ternyata positif. Seluruh tangga teparo, rumah kanan kiri telah terkena virusnya Benu...Kok bisa, tanpa senjata kimia si Benu, bedhes elek sing pinter ngadubillah nek omong ora nggenah, meng-epidemi-kan virus mewabah di seluruh lingkungan. Untungnya saya masih belum mengambil keputusan untuk menanggapi kejadian ini sebagai "kejadian yang luar biasa" sehingga perlu membuat situasi darurat yang mengharuskan saya mengambil langkah strategis gunamengatasi keadaanyang luas biasa itu.

Bayangkan!!! Misalnya itu sampeyan, apa ndak mbedegel nyang ati? Apa ndak mrekitik? Lha wong pusaka pemberian orang tua kok disepelekan sak geleme dhewe. Tapi jika digawe rame apa ndak lebih ngisin-isine lagi, Mbah Guru gegeran sama Benu, bedhes elek sing pinter ngadubillah nek omong ora nggenah, bocah cilik umur lima tahun... Bayangkan, coba !?
Jelas saya berada dalam situas kondisia not controla, jelas keadaan yang out of control. Saya dipepet untuk mau tidak mau harus mau, setuju tidak setuju harus setuju, kayak parlemennya Nero yang jelas obsolut mutlak 100% harus menerima tanpa tanya...

Gimana lagi?! Habis to pertimbangannya?! Ya, okelah kalau begitu...
Dan demikianlah ...Sampai kini saya harus legawa atas penyebaran virus dan intervensi privacy yang dilakukan oleh Benu.
Jadi dengan penuh keikhlasan saya perkenalkan nama saya MBAH ULU...
What is name????

Tidak ada komentar:

Posting Komentar