Minggu, 28 Februari 2010

SI BENU

Namanya Beno Putra Asmara. Bocah cilik umur 5 tahun, yang menurut Mbah Ulu, si bedhes sing pintere ngadubilah yen ngomong ora nggenah. Anaknya item cilik methisil. Kata ngilmu katuranggan profil seperti itu biasanya ngeyel, ra gelem ngalah, otaknya cemerlang, pinter ngakali kancane, kendhel, tidak ada yang ditakuti dan memiliki solidaritas teman yang luar biasa. Rambutnya kriting kriwil-kriwil, mirip-mirip Kick Andi, warnanya bukan hitam mengkilat tetapi kecoklatan terbakar sinar matahari. Kulit tubuhnya agak mbekisik, tapi itu dulu!!! Sekarang lebih bagus, halus, meski kesan hitamnya belumlah hilang.
Ngomongnya, woow, kayak istilahnya Cak Dikin, seperti kyai sing pinter nuturi, canthas, mbekinyis, ora gelem meneng, ora gelem ngalahl, mudah menangkap pembicaraan lawan bicaranya dan tentu saja masih cedhal.

Nah, heran juga mengapa Mbah Ulu dan Kang Pokadi, bapaknya, bukan memanggil Beno seperti namanya tetapi lebih senang memanggil Benu. Konon kabarnya, Beno... eh... Benu, yang berasal dari bumi Kismantoro, lahir pada saat mangsa kasepuluh, rame-ramenya musim hujan. Kang Pokadi tidak ingat betul tanggal masehinya, seingatnya Benu lahir ketika rumahnya yang berada di pinggir kali dihajar hujan lima siang lima malam tiada henti. Sehingga sejak lair ceprot hingga kondangan sepasaran harus berbasah ria. Puncaknya pada sore menjelang kondangan sepasaran, sungai yang berada di sebelah timur rumah tidak kuat lagi menampung air yang berasal dari hutan gundul bukit sebelah barat, sehingga melebar hingga ke tritisan rumah. Tentu saja kondisi yang tidak biasa ini menggegerkan warga se lingkungan. semua pada opyah, gemerah, balik ke rumah masing-masing takut kalau rumahnya diendus air juga. Kang Pokadi waktu itu cuma bisa thenger-thenger karena yang ngondang keleman bayi pada buyar. Pikirannya sumpek, bukan karena masalah air yang mulai mendekat rumah, tetapi karena jabang bayi yang saat sepasaran tidak dikondangi akan mendapat gelar anak asu. Memalukan.... Kayak tidak kuat ngragati anak...

Kang Pokadi pun tidak ketinggalan akal. Mbah Mingan yang biasanya ngijabke kondangan, segera dicegat di pintu ke luar ketika akan bergerak untuk pulang menyelamatkan sapinya yang mungkin telah dijilat banjir. Kaki Mbah Mingan dirangkul rapet," Tulung Mbah, dijawabke dulu, itu ambeng dan keleman telah siap. Ampun nganti anak kulo dados anak asu..". Mbah Mingan tentu saja kebingungan. Namun akhirnya Kang Pokadi lebih suka ngurusi sapi Mbah Mingan, dan imbal baliknya Mbah Mingan harus njawab dulu ambengan dan keleman kondangan yang telah disiapkan.

Kang Pokadi ternyata juga pokil. Setelah dilihat dari kejauhan sapi Mbah Mingan tidak bermasalah, maka segera balik klepat, ingat belum memberikan nama untuk anaknya kepada Mbah Mingan. Sak klepatan, Kang Pokadi telah sampai di emper rumah, " Walah... Blaik Mbah Mingan... Sudah diijabke belum kondangannya?", katanya sambil terengah. Keringat Kang Pokadi masih dleleran membasahi. Matanya memandang Mbah Mingan dengan penuh harap.
"Ya sudah, to! Lha mintanya penting diijabke kondangannya kan sudah sah. Lihat ni!! Disekseni dua orang tua, disekseni keponakanmu, dan yang penting kan sudah disekseni bapa bumi, ibu bumi yang memberi hidup sampeyan sekeluarga... jadi beres to?.".
"Wadhuh Mbah ...... Lha terus nama anakku siapa Mbah? Lha saya khan belum memberi nama to Mbah?"
"Oooo itu to?! Sabar dan tenang saja. Nama itu cuma tenger untuk mbedakke satu orang dengan yang lain, dan Ibunya jabang bayi ini juga masrahke masalah jeneng ini pada Mbah. Jadi setelah Mbah pikir-pikir ya... kondisi dan situasi ini saja yang menjadi tenger untuk si jabang bayi, makanya saya beri jeneng BENO artinya banjir. Kan Pokadi tahu sendiri saat ini kita dikupeng banjir... orang orang pada opyak gemerah ngrumati banda supaya tidak keterak banjir... Iya, to? Menyelamatkan surat penting, mas raja kaya, wedhus, sapi...!" Mbah Mingan terdiam teringat ia memberikan tugas pada Pokadi untuk menyelamatkan sapinya...
"Lho??? Terus sapinya Mbah gimana? Sudah mbok jauhkan dari banjir, to?"
Pokadi masih kamitenggengen menerima penjelasan Mbah Mingan. Wajahnya plonga-plongo memikirkan nama si jabang bayi yang berbau bencana sehingga tidak dapat merespon kekuatiran Mbah Mingan terhadap sapinya.
"Di!!!, Pokadi!!! Sapinya Mbah gimana?!"
"Iya!..Iya!! Mbah! Aman..aman Mbah?".
"Aman kepiye to? Sing genah to? Aman gimana?"
"Anu... anu..Mbah... sapinya masih aman di kandang...?"
"Wheladhalah!?? Blaik!!! Lha ketiwasan ini..!!!"
Mbah Mingan serentak berdiri meninggalkan keleman kondangan bayi yang baru saja diambil sak pulukan. Dengan grenengan diterak saja Kang Pokadi yang masih plonga-plongo di depan pintu.
Kang Pokadi masih juga kelenger mendengarkan nama Beno. Dalam pikirannya jaman ini jamannya jeneng yang serba west minded, pokoke kebarat-baratan, seperti Joni, Kevin, Mark, atau jeneng yang sama dengan bintang sepakbola pujaannya, Ronaldo dan Maradona. Atau paling tidak mirip-mirip nama pembalap, Palentino Rossi, yang punya nomor 46 itu, atau Mikel Secumaker gitu. Tapi Mbah Mingan jan kebangeten benar... Ya meskipun bapaknya bernama Pokadi dan simboknya bernama Gemi... tapi kalau bisa jeneng anaknya mbok yang lebih aptudit gitu. Lha ini kok Beno yang berarti banjir... aduh makkkk....
Gimana lagi nasi dah jadi bubur!!! Tapi nambah bumbu dan racikan agar buburnya sedap kan nggak salah.

Kang Pokadi tentu saja segera mengambil langkah strategis berkonsultasi dengan Yu Gemi, sang istri. Topik utamanya tentu saja masih berkutet sekitar nama Beno. Alhasil, meskipun banyak opsi yang muncul keduanya sepakat untuk menambah nama menjadi Beno Putra Asmara. Tambahan Putra Asmara tentu saja tidak sekedar asal comot. Paling tidak nama itu mengingatkan masa muda Yu Gemi yang dulu menjadi penyanyi group dangdut Putra Asmara. Di area group itulah, Kang Pokadi yang menjadi penonton setia pada saat latihan sering mengantarkan Yu Gemi pulang, dapat sesekali mencuri hati Yu Gemi. Tanpa aral hubungan itupun dapat berlanjut ke pernikahan dan melahirkan buah hati satu-satunya, Beno Putra Asmara. dan meskipun Mbah Mingan memberinanya nama Beno thok, toh di struk kelahiran nyata-nyata jelas tertulis Beno Putra Asmara. Makin sedap kan??!!

Tapi masalah Beno yang baru lahir tidak serta merta selesai. sebulan kemudian, Pakliknya Beno, adiknya Yu Gemi, yang lagi buruh di Jakarta mudik. Kang Poentro, ya si pakliknya Beno, merasa riwayat nama Beno mengingatkan pada kehilangan sapi satu-satunya yang telah keterak banjir pada saat Beno lahir. Sapi itu hasil jerih payah mburuh jadi kuli bangunan di Jakarta hampir 5 tahun. Hilang dalam kejapan mata, bahkan pada saat Kang Poentro tidak sempat untuk melihat harta satu-satunya untuk terakhir. Maklumlah Kang Poentro mengelus sapi satu-satunya tersebut pada masa setahun yang lalu. Dan kini pada saat ia pulang, raja kaya satu-satunya untuk cadangan anaknya sekolah hanyalah cerita. Jelaslah banjir sebulan yang lalu memberikan warna hitam dalam mentalitas berpikir Kang Poentro. Akibatnya selalu, cerita tentang banjir, beno, dan sejenisnya membuat perih hati Kang Poentro.
Maka untuk urusan nama Beno, kang Pokadi juga nyadari, adiknya memiliki pobia, ketakutan yang berlebihan, terhadap kata itu. Diakalilah, pada saat ada Kang Poentro, maka Kang Pokadi memanggil anaknya diplesetkan menjadi Benu. Tidak ada makna khusus tentang Benu! Ya cuma penyelamatan mental Kang Poentro saja, titik! tak ada yang lain.

Nyatanya Toh Gusti Allah berkehendak lain!!! Seringnya Kang Poentro bertandang ke rumah Kang Pokadi menjadikan nama Benu sering disebut. Seringnya nama Benu disebut, menjadikan ketenaran nama Benu menjadi berlebih dan menenggelamkan nama Beno yang telah disekseni bapa ibu bumi lewat ijaban kondangan Mbah Mingan. Pun orang yang ikutan ngudang Beno pun lebih fasih melafalkan Benu ketimbang Beno. Jadi apa salahnya nama Benu?

Suatu sore menjelang kondangan keleman setahunan Benu, Kang Pokadi glenikan sama Yu Gemi, " Ya bener kata Mbah Sutat Mbokne?"
"Ada apa to, Pak? Kok tanpa pambuka sampeyan gerenengan kaya gitu? Mbah Sutat kok katut dicrita, to?"
"Itu lho Benu!!! Jadi uwong kita sudah merencanakan nama demikian banyak pertimbangan, eh .. ternyata saat ijab kondangannya kok yang muncul nama Beno, nama yang sama sekali ndak ada dalam ngengrengan kita ya, Mbokne! Awake dewe dah berupaya merias nama Beno biar lebih sip, ternyata ya nggak diparengke juga sama Gusti Allah. Tapi tidak dinyana nama Benu yang cuma sekedar kudangan untuk membantu Poentro kok malah Gusti Allah marengke lakon yang lain untuk nama anak kita. Jadi kan bener sama sing dingendikake Mbah Sutat saat Muludan kemarin, sak pinter-pintere manungsa ngudi ukara, sak pinter-pintere manungsa ngupaya upo, ndak ada yang bisa memastikan hasilnya seperti apa. Hanya Gusti Allah yang dapat memastikan kita mau jadi apa dan ke arah mana kita mau dibawa."
"Bener, yo Pak! Tapi kita kan dah usaha, Pak! Ya ndak perlu digetuni, to!!"
"Bukan nggetuni lho, Mbokne!! Sekedar nguda rasa saja. Wong garising jeneng kok digetuni???"
Yu Gemi terdiam. Kang Pokadi terdiam. Semburat warna jingga telah meronai langit sebelah barat.

Kringking-kringking, Kang Pokadi berdiri, teringat belum menyiapkan daun jati untuk bungkus keleman kondangan keleman setahunan Benu sore ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar