Rabu, 17 Maret 2010

KANG POKADI


Waktu itu, siapa yang nggak kenal Kang Pokadi. Warokan reyog Ludiro Seto,kelahiran laladan Tanjung Kismantoro. Gagah prakosa, dibacok mendat, dipenthung mentul, brangasan, tak kenal sapa siro sapa ingsun. Bahasane Si Pitung, Pendekar Betawi yang selalu berkalung sarung,"Lu jual gua beli!!". Setan gur dipakai panganan, demit ora wani ndulit. Ya itulah Kang Pokadi. Tokoh sentral episode kali ini. Konon kabarnya, pada saat rame-ramene gegeran reformasi tahun 1997, Kang Pokadi menjadi penjarah yang paling handal. Semua pakaryan yang bermodal keringat serentak dipending Kang Pokadi. Sampai-sampai borongan finishing sepuluh rumah di perumahan Cempaka Gading ditolak mentah-mentah. Lha bagaimana tidak!? Kok mikir mborong finishing rumah. Cukup modal ati teteg, weteng wareg berangkat tangan kosong, pulang tinggal mau nari ambil apa.. Penak to!!. Lemari, kulkas, tipi, VCD, pakaian merek Da Vinci yang katanya dari Itali, atau tas merek Gucci yang harganya cuma dalam mimpi... semua tersedia geleh-geleh di depan mata. Ambil!! lari...!! Beeres Dah!! Makanya tidak heran masa gegeran reformasi merupakan rejeki yang, bagi Kang Pokadi, diharapkan selalu terulang kembali.

Pasca gegeran mudiklah Kang Pokadi ke bumi tanah kelahiran. Tentu saja penampilan jelas manglingi. Celana setrikaan, mlithit, garisnya tajam layaknya pisau Mbah Tum yang senantiasa dipakai khusus ngiris telenan juadah orang punya kerja. Pun bajunya tak kalah sama mulusnya. Aromanya..? Waah yang satu ini jangan tanya! Ya jelas kesan pertama sangat menggoda dan selanjutnya terserah anda!(Walah-walah... Kok kayak iklan wae). Tapi itu betul lho?? Sumpah saya yang nulis, nembus arisan tanpa bayar! Wong waktu itu anaknya Pak Pala sampai kedanan sama penampilan Kang Pokadi. Kurang apa coba anaknya Pak Pala ini! Luna Maya yang jadi idola sekarang pun tak cukup untuk menggambarkan kecantikan si kembang desa ini. Apa?... Miyabi??...Walah bintang tak bermoral itu!!! Jelas lewattt. Rak nok papane! Jika digambarkan, Kembang Desa anaknya Pak pala ini jelas perpaduan antara kecerdasan Agnes Monica, kelembutan Lulu Tobing, keanggunan Dewi Kunthi... Pokoke sulit menggambarkannya. Yang jelas, sanguuatt cuuaanntik tuitik. Nah inilah yang mengundang curiga banyak orang terhadap kang Pokadi. Wong semua nom-noman pada mimpi dapat istri si Kembang Desa ini, wong semua tetuwa pada punya idaman dapat menantu kayak anaknya Pak Pala ini, lha kok Kang Pokadi kelihatannya tidak ngglape sama sekali. Jelas ini diluar logika berpikir kanoman dan kamituwa pada waktu itu. Terus yang dicari Kang Pokadi itu cewek yang bagaimana coba?! Bingung khan!! Tapi tidak bagi Kang Pokadi.

Penampilan Kang Pokadi yang makin klimis dan preden bukan tanpa maksud. Biasalah ada sesuatu yang tak mungkin diceriterakan Kang Pokadi pada sembarang orang. Kenapa? Ya jelas memalukan to? Mosok Warokan reog yang beling saja cuma buat camilan kok cerita tentang broken heart!? Apa ndak malu coba! Wong lanang gagah prakosa otot kawat balung wesi kok patah hati..! Sorry la yauww. Namun itulah Kang Pokadi! dibalik penampilan waroknya, dibalik penampilannya yang klimis dan preden, ternyata menyimpan kelembutan cinta yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Tidak ada orang yang mengetahui kisah ini. Kang Pokadi menyimpan di relung hatinya yang paling dalam. Ia hanya berharap orang yang selama ini menggayuti mimpi-mimpinya setiap malam dapat membaca kerinduan yang telah puluhan tahun dirasakannya, bahkan semenjak lulus dari bangku SD dulu. Tidak jarang untuk mengobati rasa yang makin tak terkira ini Kang Pokadi harus mengeluarkan sepotong photo hitam putih yang di ujung bawah sebelah kiri telah tertandai tulisan bekas cap sekolahnya dulu. Photo itu begitu mungil. Kang Pokadi harus mengeluarkannya di saat sendiri, secara sembunyi-sembunyi, rasa sendiri dan sunyi itulah yang mampu menemani cerita kerinduan hati Kang Pokadi. Begitu dalamnya kang Pokadi menatap kesejukan dalam photo hingga pernah suatu kali salah satu teman buruhnya di Jakarta yang mencoba guyonan dengan Kang Pokadi, usil pengin mengetahui pujaan hati Kang Pokadi, harus babak belur akibat kemarahan Kang Pokadi.

Dalam kesendirian dan kesunyian menatap Photo itulah bayangan Kang Pokadi senantiasa melayang ke masa tiga belas tahun silam, saat ia kelas 6. waktu itu jelas, mbelingnya luwih ukur, nakalnya selalu top scorer. Gurunya sendiri sudah jenuh ngandhani Kang Pokadi kecil ini. Gurunya hanya berharap Kang Pokadi kecil segera lulus dan selesai sudah problem maker ini buat kericuhan di sekolah. Anehnya, jika gurunya nyadari, Kang Pokadi kecil ini nurutnya sama Gemi jan luar biasa betul. Gemi, gadis kecil berambut dua kepang, anaknya janda Suminah, penjual gorengan tempe pasar klitik tiap hari Pahing dan Kliwon, memang cerdas dan memiliki keteduhan pada pandang matanya. Kebetulan Gemi merupakan ketua kelas berjenis kelamin perempuan satu-satunya di SD Kedawung. Itu hasil demokrasi yang betul-betul murni, bukan demokrasi ala DPR RI yang cuma diwarnai lobby-lobby. terpilihnya Gemi sebagai ketua kelas merupakan hasil aklamasi. Hebat kan! Dan di kelas yang diketuai Srikandi inilah Kang Pokadi kecil duduk manis di meja sebelah belakang Gemi.

Suatu hari pernah kang Pokadi kecil tidak melaksanakan piket kelas. Akibatnya waktu guru masuk, kelas masih amburadul. Beberapa sampah masih berserak di depan kelas, papan tulis masih tersisa coretan pelajaran hari kemarin, meja guru pun masih menyisakan lapisan debu. Pak Guru jelas marah, dan tumpuan pertama adalah ketua kelas, ya si Srikandi Gemi itu. Maka serangkaian hukuman pun ditimpakan pada ketua kelas atas nama kelas. Untunglah beban hukuman itu dapat dilakoni pada saat istirahat dengan bantuan anak-anak yang lain kecuali Kang Pokadi kecil tentunya. Pokadi lebih memilih intervensi di kelas lain, biasa membuat usil. Toh tak ada seorang pun anak yang berani melawan Pokadi.
Usai bel masuk istirahat, Gemi dipanggil menghadap gurunya di kantor guru. Tanpa sepengetahuan Gemi, ternyata siswa yang lain menggalang kepedulian untuk melawan kesewenang-wenangan pokadi. Ketika Gemi mendapatkan BP di Kantor, di kelas 6 ketangguhan Pokadi ternyata harus porak poranda melawan 32 siswa yang serempak melawannya terang-terangan. Hancur sudah keperkasaan Pokadi. Beberapa pukulan dan cubitan menghiasinya hingga Gemi masuk kembali ke kelas. Gemi tidak tahu telah terjadi kudeta terhadap kenakalan Pokadi. Gemi hanya tahu setelah tugas pemberian guru selesai dan siswa bersiap pulang, dilihatnya Pokadi masih menelungkupkan wajahnya di atas meja. Bahkan sampai kelas telah sepi, Pokadi masih belum juga beranjak mengangkat wajahnya.
Gemi masih setia menunggui bagian tanggung jawabnya sebagai ketua kelas, tanpa disadari oleh Pokadi. Gemi hanya diam. Sesekali matanya memandang Pokadi atau kembali menyusuri buku bacaan untuk membuang sepi.

Pokadi dalam diamnya sungguh malu diri. Tidak disangkanya kenakalan yang selama ini ia lakoni harus berakhir tragis. Dikeroyok teman sendiri! Satu kelas lagi!!!

Ketika menyadari kelas sepi, Pokadi ingin segera pulang. Yang dilihatnya pertama adalah kepang dua, yang serentak juga menoleh. Pokadi hanya melihat mata hitam bening yang teduh. Tidak ada kemarahan. Tidak ada penyesalan telah menungguinya. Pokadi kecil sungguh tidak menyadari sejak dulu bahwa mata itu begitu teduh. Mata itu mengingatkan pada ibunya saat ia kena pukul bapak akibat kenakalannya. Mata yang selalu menaungi dan meneduhinya. Seketika Pokadi teringat, mata itu terlihat terakhir kali pada saat ia kelas 3. Waktu itu keteduhan mata itu telah makin memudar. Pokadi hanya ingat pemilik mata itu berpesan agar Pokadi tidak nakal, dan tidak menyusahkan bapaknya lagi. Tiba-tiba kerinduannya pada Ibu demikian menyeruak. Tanpa sadar air mata Pokadi menetes. Pokadi sangat ingin berada dalam pelukan ibunya. Pokadi ingin rengkuhan ibunya yang senantiasa memberikan rasa aman dan nyaman bagi dirinya. Pokadi ingin ibunya..... Pokadi hanya tahu, sesaat setelah mata ibunya memudar orang-orang berkerumun dan ibunya tidak pernah bertemu selamanya. Mata yang teduh itu telah meninggalkan untuk selamanya. Dan kini... Di depannya, Pokadi melihat kembali mata itu. Tapi itu bukan ibunya. Bukan orang yang senantiasa merengkuh dan menanunginya. Bukan orang yang mengelusnya di kala ia digebug bapaknya. Bukan! Tidak masalah bagi Pokadi.... Keteduhan dan kebeningan mata si kepang dua paling tidak telah mengingatkan kembali janji Pokadi kepada ibunya.

Sejak itulah, pandangan mata itu selalu mengingatkan Pokadi untuk tidak nakal lagi. Gemi pun tidak menyadari bahwa matanya mengandung kekuatan sihir yang mampu menaklukan si nakal Pokadi. Gemi hanya tahu setiap ia memandang Pokadi, Pokadi seakan telah mengerti tidak boleh menyusahkan kelas lagi, tidak boleh menyusahkan anak-anak yang lain lagi...

Ketika lulus, hanya satu keinginan Pokadi untuk selalu menatap mata bening itu lagi. Ia akan mengikuti ayahnya untuk buruh di Jakarta, dan mata bening itu tak mungkin ia temui. Maka ketika semua siswa larut dalam gembira pesta kelulusan, diam-diam Pokadi menyelinap ke meja Gemi. Dibukanya raport nilai Gemi dengan hati-hati.
Dan siangnya, Gemi masih terheran-heran, mengapa rapotrnya tak lagi tertempeli photo hitam putih dirinya.

Itulah rahasia kecil Kang Pokadi. Tidak ada yang tahu. Tidak juga Kembang Desa anak Pak Pala.

Kini tiga belas tahun sudah. Pokadi mangru. Masih sendirikah mata bening itu? Informasi tentang mata bening nyaris tidak dapat ia peroleh sama sekali. Ya gengsi to!! Di Jakarta, Pokadi nyaris tidak pernah bersentuhan dengan cewek sama sekali. Setiap kali memandang photo kecil itu Pokadi sadar, Tuhan semoga menggariskan takdir untuknya. Bahkan untuk anak rantauan ibu kota, Kang Pokadi jelas mleset dari kudangan nomnoman. Apakah anda percaya bahwa Kang Pokadi masih perjaka thing-thing...?? Thing asli bukan hanya thing-thingan. Aneh kan! Tapi itulah kang Pokadi. Kepiwaiannya jadi warok dan tukang ngreyog tidak lantas menghapus mata bening yang teduh itu. Tidak!! Telah tiga belas tahun Pokadi menahan kerinduan pada mata bening itu dan Ia ingin menemuinya, jika mungkin meminangnya, dan thing-thing itulah salah satu bentuk keniscayaan yang akan dipersembahkan pada si mata bening teduh itu. Thing-thing sebagai wujud kesetiaan dan pertanggungjawaban kekerasan hasrat untuk bersama.

Dan itulah Kang Pokadi yang kemudian berhasil meminang Gemi melalui group dangdut Putra Asmara, pimpinan Bang Nomri. Danpada saat banjir menjilat lingkungannya, lahirlah si buah hati.. Beno Putra Asmara, yang katanya Mbah Ulu bedhes cilik sing pintere ngadubilah, yen omong ora nggenah.

Dan kini meskipun Gemi hanya lulusan SMP, Pokadi hanya lulusan SD, keduanya dapat diterima untuk ngawulo di rumah Mbah Ulu. Bahkan diberi rumah inap sendiri di samping rumah induk Mbah ulu. Rumah kecil itu kini berisi Kang Pokadi, Simata teduh Gemi, dan bedhes cilik sing pintere ngadubilah, yen omong ora nggenah, Benu.

Kedua Orang itu merupakan karunia tidak terkira bagi Kang Pokadi. ia tidak paham apa itu keluarga sakinah, mawadah, warohmah. Yang ia tahu, si mata teduh Gemi senantiasa memandangnya dengan penuh sayang, dan si kecil Benu senantiasa mampu mengisi kesepiannya dengan keceriaan dan kenakalannya.

Jumat, 12 Maret 2010

YU CENIL


Bumi Kismantoro memang kaya potensi, Samubarang sing gumelar bisa paring panguripan. Orangnya kreatif melebihi lagunya Koes Plus, “Tongkat kayu ditanam jadi tanaman.” Bahkan athikan warganya melebihi semboyan, “Alam takambang menjadi guru”. Bukan hanya alam saja yang dapat dijadikan sarana untuk belajar, tapi empat arah mata angin, wolu pancer merupakan sumber belajar dan sumber inspirasi yang takkan pernah habis. Dan di bumi penuh athikan yang warganya kenyang ditempa pengalaman dengan alam itulah Yu Cenil lahir.

Yu Cenil lahir di Joho, Ndawung. Anak kedelapan bagian dari dari empat laki-laki dan enam perempuan. Seperti saudaranya, Yu Cenil dikaruniai kulit kuning langsat dengan tinggi badan semampai. Sinar matanya redup dan menyejukkan, namun jika bersinar menumbuhkan gairah orang yang memandangnya. Bibirnya, mirip-mirip punya Jupe. Seksi. Jika tersenyum kita akan terkesima sejenak… dan jika senyumnya membuka tautan di antara dua bibirnya maka seleret sinar putih akan menyergap. Gigi Yu Cenil memang luar biasa. Mbah Ulu sendiri pernah mengungkapkan keheranannya mengapa Yu Cenil trima dodol bubur lemu, dan bukannya menjadi iklan pasta gigi.

Sejak kecil Yu Cenil, memang tampak kecil. Kata Mboke yang juga penjual jamu keliling di Pasar Dangkrang, Yu Cenil waktu bayi teramat mungil, saking mungilnya Cuma sak-cenil. Barangkali kata YS Badudu yang ahli bahasa itu, “Cuma noktah, titik.” Mungkin sebesar itulah Yu Cenil. Dan namanya pun cuma Cenil. Tak ada tambahan apapun. Hanya Cenil saja, titik.

Nama Cenil pernah merepotkan Mboke Cenil yang daftar Cenil ke SD. Gurunya, Pak Mun, yang merasa bahwa nama itu akan memberikan masalah pada Cenil di kemudian hari, menasehati mboke Cenil,” Yu, Namanya apa ya cuma Cenil begini? Kasihan nanti kalau sudah besar. Putra panjenengan itu cantik, lihat saja!! Kulitnya bersih, matanya kelihatan cerdas, bahkan kelihatan memiliki IQ tinggi, giginya putih, masak namanya Cenil?!!”
Mboke Cenil jelas bingung, “Lha apa salahnya to nama Cenil, Tak kasih nama yang panjang misalnya Tri Susuki Yamaha Hondawati, atau Srikandi Mangayu Buana rahayuningtyas, toh anaknya tidak bertambah panjang ya tetap saja sak Cenil. Jadi apa to salahya nama Cenil,” Mboke Cenil cuma mbatin saja, tidak berani mengungkapkannya pada Pak Guru Mun. Paling tidak, nama Cenil tidak repot waktu manggil untuk bantu-bantu ngrajang jamu, cukup teriak,” Niiiiiiiiiiiiiiiiiiillllllllll, Ceniiiiiiiiiiiiiiiiillllllllll…” Nah, praktis khan.!!

“Begini Lho Yu!! Nama itu anugerah. Kanjeng Nabi Muhammad SAW Junjungan kita menganjurkan umatnya untuk memberikan nama pada anak-anaknya, tidak asal memberi nama, Kanjeng Nabi bersabda, Barang siapa memanggil dirinya oleh selain ayahnya nama (atau atribut dirinya kepada seseorang selain ayahnya), akan dikutuk oleh Allah, para malaikat dan semua orang.”
Mboke Cenil hanya bisa manggut. Entah mudheng atau Cuma pekewuh saja sama Pak Guru Mun. Mboke Cenil jadi ingat suaminya yang telah meninggal dua tahun yang lalu. Suaminya memang tidak protes ketika ia berinisiatif memberikan nama Cenil. Suaminya hanya diam. Tapi begitulah suaminya, diam adalah emas. Jadi nama Cenil telah secara langsung mendapatkan rekomendasi dari suaminya. Dan itu berarti barangkali Sabda Kanjeng Nabi tersebut tidak berlaku untuk anaknya.
Pripun, Yu?!”
Mboke Cenil tergagap sadar, bayangan suaminya terkabur bersama kekagetannya.
Panjenengan mantap menamai anaknya dengan Cenil atau barangkali panjenengan mau ngubah nama Cenil? Ini tidak harus lho Yu! Hanya barangkali panjenengan memiliki pertimbangan panjang untuk nama anak panjenengan nanti, atau paling tidak nanti waktu anak panjenengan kelas lima, kalau mau ganti nama itulah saatnya, agar waktu kelas enam dan lulus ijazahnya telah tertulis dengan nama yang baru.”
“Iya…Iya!! Pak Guru. Enggih..Inggih leres!” Mboke Cenil sekedar menjawab. Tidak tahu maksud ucapan Pak Guru Mun. Nggagas Ijazah!, Sekolah saja Mboke Cenil Cuma sampai kelas I. Baru mulai bisa i-ni- i- bu – di sudah drop out karena harus bantu nyari rumput untuk kambingnya yang telah memenuhi kandang.

Mboke Cenil pulang masih grenengan. Anak-anaknya toh tidak pernah punya masalah dengan nama. Yang mbarep namanya Sabin, maklum hampir saja lair di sawah, untung saja Bu Bidan Tanjung pas itu baru saja ngimumisasi balita, jadi Sabin terlahir dengan selamat. Anaknya kedua bernama Yatno, itulah nama satu-satunya pemberian suaminya. Riwayat nama itu baru diketahui setelah kondangan karotengah tahun kelahiran Yatno. Konon saat mbobot sangang sasi, suaminya jagong melekan sesukan di rumah Pak Lurah Kikis yang lagi menikahkan anaknya. Kebiasaan sesukan melekan adalah main kartu ceki, kartu china warna ijo, yang menjadi permainan judi favorit waktu itu. Nah ceritanya pas suaminya dapat giliran yat, mengambil kartu, tiba-tiba mak bedunduk, adik suaminya telah njedul di ambang pintu sembari memanggil suaminya, “Kang! Kang!... Mbakyu babaran…!!”
Suaminya tidak terkejut. Dengan tenang dia menyuruh adiknya untuk menggantikannya meneruskan bermain ceki. “ Lanjutkan saja!.. Yat no dhisik ya…Wancine ngambil kertu, paling sebentar lagi trek terus bong. Tak tinggal dulu ngurusi mbakyumu.”
Itulah kemudian Yatno (mungkin maksud suaminya kesempatan mengambil kertu) dilekatkan pada nama anaknya yang kedua. Tapi toh ada hikmahnya juga. Setelah Mboke Cenil tahu kisah nama anak keduanya, marahnya bukan main. Bukan karena nama anaknya Yatno, tetapi karena masih saja suaminya suka sesungaran main ceki, pantesan tiap kali jualan jagung hasil panen kok harganya selalu lebih rendah dari harga umum yang didengarnya. Pasti sebagian uangnya diunthit suaminya untuk main ceki. Dan gara-gara ngunthit uang jualan jagung tersebut, Mboke Cenil ngundhat-undat suaminya, yang berakhir dengan janji suaminya untuk tidak bermain kartu ceki lagi. sejak itu sampai kini, suaminya memang telah benar betul terbebas dari kebiasaan sesungaran main ceki.

Dan kini Mboke Cenil masih gerenengan juga, tidak ada satu pun nama anaknya yang bermasalah, Sabin, Yatno, Kuntet, Undhuh, Ganti, landhep, Warto, dan Cenil, semuanya baik-baik saja. Malah yang repot Pak Guru Mun. Apa to susahnya nulis Cenil!!! Kan lebih mudah ketimbang harus nulis nama yang panjang.

Cenil tumbuh jadi anak yang cerdas, bahkan sewaktu kelas 5 pernah menjadi juara lomba bidang studi matematika untuk tingkat kecamatan. Dan yang mengejutkan, pertumbuhan Cenil ternyata tidak sesuai dengan namanya. Saat masuk kelas enam bahkan Cenil merupakan perempuan tertinggi kedua di kelas setelah Dwi Septiana. Tetapi prestasinya pertama disusul Dwi Septiana. Sayangnya, Mboke Cenil lupa apa yang dipesankan Pak Guru Mun tentang nama anaknya. Hingga kelas enam bahkan Mboke Cenil tak kunjung mengganti nama, sehingga pada Surat Tanda Tamat Belajar anaknya tertulis C E N I L. Hanya itu tidak ada yang lain.

Minggu, 28 Februari 2010

SI BENU

Namanya Beno Putra Asmara. Bocah cilik umur 5 tahun, yang menurut Mbah Ulu, si bedhes sing pintere ngadubilah yen ngomong ora nggenah. Anaknya item cilik methisil. Kata ngilmu katuranggan profil seperti itu biasanya ngeyel, ra gelem ngalah, otaknya cemerlang, pinter ngakali kancane, kendhel, tidak ada yang ditakuti dan memiliki solidaritas teman yang luar biasa. Rambutnya kriting kriwil-kriwil, mirip-mirip Kick Andi, warnanya bukan hitam mengkilat tetapi kecoklatan terbakar sinar matahari. Kulit tubuhnya agak mbekisik, tapi itu dulu!!! Sekarang lebih bagus, halus, meski kesan hitamnya belumlah hilang.
Ngomongnya, woow, kayak istilahnya Cak Dikin, seperti kyai sing pinter nuturi, canthas, mbekinyis, ora gelem meneng, ora gelem ngalahl, mudah menangkap pembicaraan lawan bicaranya dan tentu saja masih cedhal.

Nah, heran juga mengapa Mbah Ulu dan Kang Pokadi, bapaknya, bukan memanggil Beno seperti namanya tetapi lebih senang memanggil Benu. Konon kabarnya, Beno... eh... Benu, yang berasal dari bumi Kismantoro, lahir pada saat mangsa kasepuluh, rame-ramenya musim hujan. Kang Pokadi tidak ingat betul tanggal masehinya, seingatnya Benu lahir ketika rumahnya yang berada di pinggir kali dihajar hujan lima siang lima malam tiada henti. Sehingga sejak lair ceprot hingga kondangan sepasaran harus berbasah ria. Puncaknya pada sore menjelang kondangan sepasaran, sungai yang berada di sebelah timur rumah tidak kuat lagi menampung air yang berasal dari hutan gundul bukit sebelah barat, sehingga melebar hingga ke tritisan rumah. Tentu saja kondisi yang tidak biasa ini menggegerkan warga se lingkungan. semua pada opyah, gemerah, balik ke rumah masing-masing takut kalau rumahnya diendus air juga. Kang Pokadi waktu itu cuma bisa thenger-thenger karena yang ngondang keleman bayi pada buyar. Pikirannya sumpek, bukan karena masalah air yang mulai mendekat rumah, tetapi karena jabang bayi yang saat sepasaran tidak dikondangi akan mendapat gelar anak asu. Memalukan.... Kayak tidak kuat ngragati anak...

Kang Pokadi pun tidak ketinggalan akal. Mbah Mingan yang biasanya ngijabke kondangan, segera dicegat di pintu ke luar ketika akan bergerak untuk pulang menyelamatkan sapinya yang mungkin telah dijilat banjir. Kaki Mbah Mingan dirangkul rapet," Tulung Mbah, dijawabke dulu, itu ambeng dan keleman telah siap. Ampun nganti anak kulo dados anak asu..". Mbah Mingan tentu saja kebingungan. Namun akhirnya Kang Pokadi lebih suka ngurusi sapi Mbah Mingan, dan imbal baliknya Mbah Mingan harus njawab dulu ambengan dan keleman kondangan yang telah disiapkan.

Kang Pokadi ternyata juga pokil. Setelah dilihat dari kejauhan sapi Mbah Mingan tidak bermasalah, maka segera balik klepat, ingat belum memberikan nama untuk anaknya kepada Mbah Mingan. Sak klepatan, Kang Pokadi telah sampai di emper rumah, " Walah... Blaik Mbah Mingan... Sudah diijabke belum kondangannya?", katanya sambil terengah. Keringat Kang Pokadi masih dleleran membasahi. Matanya memandang Mbah Mingan dengan penuh harap.
"Ya sudah, to! Lha mintanya penting diijabke kondangannya kan sudah sah. Lihat ni!! Disekseni dua orang tua, disekseni keponakanmu, dan yang penting kan sudah disekseni bapa bumi, ibu bumi yang memberi hidup sampeyan sekeluarga... jadi beres to?.".
"Wadhuh Mbah ...... Lha terus nama anakku siapa Mbah? Lha saya khan belum memberi nama to Mbah?"
"Oooo itu to?! Sabar dan tenang saja. Nama itu cuma tenger untuk mbedakke satu orang dengan yang lain, dan Ibunya jabang bayi ini juga masrahke masalah jeneng ini pada Mbah. Jadi setelah Mbah pikir-pikir ya... kondisi dan situasi ini saja yang menjadi tenger untuk si jabang bayi, makanya saya beri jeneng BENO artinya banjir. Kan Pokadi tahu sendiri saat ini kita dikupeng banjir... orang orang pada opyak gemerah ngrumati banda supaya tidak keterak banjir... Iya, to? Menyelamatkan surat penting, mas raja kaya, wedhus, sapi...!" Mbah Mingan terdiam teringat ia memberikan tugas pada Pokadi untuk menyelamatkan sapinya...
"Lho??? Terus sapinya Mbah gimana? Sudah mbok jauhkan dari banjir, to?"
Pokadi masih kamitenggengen menerima penjelasan Mbah Mingan. Wajahnya plonga-plongo memikirkan nama si jabang bayi yang berbau bencana sehingga tidak dapat merespon kekuatiran Mbah Mingan terhadap sapinya.
"Di!!!, Pokadi!!! Sapinya Mbah gimana?!"
"Iya!..Iya!! Mbah! Aman..aman Mbah?".
"Aman kepiye to? Sing genah to? Aman gimana?"
"Anu... anu..Mbah... sapinya masih aman di kandang...?"
"Wheladhalah!?? Blaik!!! Lha ketiwasan ini..!!!"
Mbah Mingan serentak berdiri meninggalkan keleman kondangan bayi yang baru saja diambil sak pulukan. Dengan grenengan diterak saja Kang Pokadi yang masih plonga-plongo di depan pintu.
Kang Pokadi masih juga kelenger mendengarkan nama Beno. Dalam pikirannya jaman ini jamannya jeneng yang serba west minded, pokoke kebarat-baratan, seperti Joni, Kevin, Mark, atau jeneng yang sama dengan bintang sepakbola pujaannya, Ronaldo dan Maradona. Atau paling tidak mirip-mirip nama pembalap, Palentino Rossi, yang punya nomor 46 itu, atau Mikel Secumaker gitu. Tapi Mbah Mingan jan kebangeten benar... Ya meskipun bapaknya bernama Pokadi dan simboknya bernama Gemi... tapi kalau bisa jeneng anaknya mbok yang lebih aptudit gitu. Lha ini kok Beno yang berarti banjir... aduh makkkk....
Gimana lagi nasi dah jadi bubur!!! Tapi nambah bumbu dan racikan agar buburnya sedap kan nggak salah.

Kang Pokadi tentu saja segera mengambil langkah strategis berkonsultasi dengan Yu Gemi, sang istri. Topik utamanya tentu saja masih berkutet sekitar nama Beno. Alhasil, meskipun banyak opsi yang muncul keduanya sepakat untuk menambah nama menjadi Beno Putra Asmara. Tambahan Putra Asmara tentu saja tidak sekedar asal comot. Paling tidak nama itu mengingatkan masa muda Yu Gemi yang dulu menjadi penyanyi group dangdut Putra Asmara. Di area group itulah, Kang Pokadi yang menjadi penonton setia pada saat latihan sering mengantarkan Yu Gemi pulang, dapat sesekali mencuri hati Yu Gemi. Tanpa aral hubungan itupun dapat berlanjut ke pernikahan dan melahirkan buah hati satu-satunya, Beno Putra Asmara. dan meskipun Mbah Mingan memberinanya nama Beno thok, toh di struk kelahiran nyata-nyata jelas tertulis Beno Putra Asmara. Makin sedap kan??!!

Tapi masalah Beno yang baru lahir tidak serta merta selesai. sebulan kemudian, Pakliknya Beno, adiknya Yu Gemi, yang lagi buruh di Jakarta mudik. Kang Poentro, ya si pakliknya Beno, merasa riwayat nama Beno mengingatkan pada kehilangan sapi satu-satunya yang telah keterak banjir pada saat Beno lahir. Sapi itu hasil jerih payah mburuh jadi kuli bangunan di Jakarta hampir 5 tahun. Hilang dalam kejapan mata, bahkan pada saat Kang Poentro tidak sempat untuk melihat harta satu-satunya untuk terakhir. Maklumlah Kang Poentro mengelus sapi satu-satunya tersebut pada masa setahun yang lalu. Dan kini pada saat ia pulang, raja kaya satu-satunya untuk cadangan anaknya sekolah hanyalah cerita. Jelaslah banjir sebulan yang lalu memberikan warna hitam dalam mentalitas berpikir Kang Poentro. Akibatnya selalu, cerita tentang banjir, beno, dan sejenisnya membuat perih hati Kang Poentro.
Maka untuk urusan nama Beno, kang Pokadi juga nyadari, adiknya memiliki pobia, ketakutan yang berlebihan, terhadap kata itu. Diakalilah, pada saat ada Kang Poentro, maka Kang Pokadi memanggil anaknya diplesetkan menjadi Benu. Tidak ada makna khusus tentang Benu! Ya cuma penyelamatan mental Kang Poentro saja, titik! tak ada yang lain.

Nyatanya Toh Gusti Allah berkehendak lain!!! Seringnya Kang Poentro bertandang ke rumah Kang Pokadi menjadikan nama Benu sering disebut. Seringnya nama Benu disebut, menjadikan ketenaran nama Benu menjadi berlebih dan menenggelamkan nama Beno yang telah disekseni bapa ibu bumi lewat ijaban kondangan Mbah Mingan. Pun orang yang ikutan ngudang Beno pun lebih fasih melafalkan Benu ketimbang Beno. Jadi apa salahnya nama Benu?

Suatu sore menjelang kondangan keleman setahunan Benu, Kang Pokadi glenikan sama Yu Gemi, " Ya bener kata Mbah Sutat Mbokne?"
"Ada apa to, Pak? Kok tanpa pambuka sampeyan gerenengan kaya gitu? Mbah Sutat kok katut dicrita, to?"
"Itu lho Benu!!! Jadi uwong kita sudah merencanakan nama demikian banyak pertimbangan, eh .. ternyata saat ijab kondangannya kok yang muncul nama Beno, nama yang sama sekali ndak ada dalam ngengrengan kita ya, Mbokne! Awake dewe dah berupaya merias nama Beno biar lebih sip, ternyata ya nggak diparengke juga sama Gusti Allah. Tapi tidak dinyana nama Benu yang cuma sekedar kudangan untuk membantu Poentro kok malah Gusti Allah marengke lakon yang lain untuk nama anak kita. Jadi kan bener sama sing dingendikake Mbah Sutat saat Muludan kemarin, sak pinter-pintere manungsa ngudi ukara, sak pinter-pintere manungsa ngupaya upo, ndak ada yang bisa memastikan hasilnya seperti apa. Hanya Gusti Allah yang dapat memastikan kita mau jadi apa dan ke arah mana kita mau dibawa."
"Bener, yo Pak! Tapi kita kan dah usaha, Pak! Ya ndak perlu digetuni, to!!"
"Bukan nggetuni lho, Mbokne!! Sekedar nguda rasa saja. Wong garising jeneng kok digetuni???"
Yu Gemi terdiam. Kang Pokadi terdiam. Semburat warna jingga telah meronai langit sebelah barat.

Kringking-kringking, Kang Pokadi berdiri, teringat belum menyiapkan daun jati untuk bungkus keleman kondangan keleman setahunan Benu sore ini.

Jumat, 26 Februari 2010

BERKAS FORTOFOLIO SERTIFIKASI 2010

Bagi yang maju sertifikasi 2010 barangkali perlu persiapan... Nah mungkin yang ini dapat membantu mengkalkulasi kebutuhan untuk berkas portofolio...dan jangan lupa jika kurang... lengkapi sendiri ya??? Jika ada yang tidak pas, komentari ya?

DAFTAR KELENGKAPAN BERKAS UNTUK PESERTA SERTIFIKASI 2010

1. Blangko identitas peserta
2. Copy ijazah terakhir + transkrip nilai Legalisasi Perguruan tinggi terkait
3. Piagam Diklat ASli Diklat ditandai dengan adanya jumlah jam pada STTPL / piagam
4. Copy SK Pengangkatan Legalisasi KS untuk Guru dan UPT untuk KS
5. Copy SK pindah/mutasi Legalisasi KS untuk Guru dan UPT untuk KS
6. Copy SK KS Legalisasi UPT
7. Copy SK terakhir Legalisasi KS untuk Guru dan UPT untuk KS
8. RPP 5 buah Lima semester berbeda, lima mapel berbeda, lima materi berbeda
9. Blangko identitas untuk penilaian RPP
10. Blangko lembar penilaian pelaksanaan pembelajaran Diisi dan dinilai oleh KS dan
pengawas. (dalam sampul tertutup)
11. Blangko identitas untuk penilaian pelaksanaan pembelajaran
12. Blangko penilaian atasan dan pengawas Diisi dan dinilai KS untuk guru dan UPT untuk KS
(dalam sampul tertutup)
13. Blangko identitas penilaian atasan dan pengawas
14. Copy Piagam prestasi akademik Juara 1,2,atau 3, lomba guru prestasi atau guru teladan
atau lomba akademik yang lain tingkat kec, kab, prop atau nas
15. Copy sertifikat keahlian Assesor, TOEFL dll
16. Copy bukti pembimbingan teman sejawat Surat tugas/SK/sertifikat TOT/ Tutor kejar Paket
A, B, C,
17. Copy piagam prestasi siswa Juara 1,2,3 tingkat kec, kab, prop atau nas. Dilengkapi surat
tugas pembimbingan
18. Copy surat tugas pembimbingan Untuk pembimbingan yang tidak memperoleh juara
19. Penelitian ilmiah Copy PENELITIAN TINDAKAN KELAS yang dilegalisasi KS untuk guru
dan UPT untuk KS
20. Pembuatan alat peraga pembelajaran Lampirkan surat keterangan dari atasan disertai
bukti fisik yang relevan, misalnya: foto hasil karya yang disertai manual dan/atau deskripsi
tentang cara pembuatan dan pemanfaatannya yang dilegalisasi oleh atasan langsung.
21. Piagam peserta Forum ilmiah (Asli) Sbgai peserta piagam dilegalisasi, sbagai pemakalah
sertakan makalahnya. Forum ilmiah dan diklat dibedakan dengan adanya keterangan jam
pada piagam /surat ket/sertifikat.
22. Pengalaman organisasi pendidikan, social, kemasyarakatan. (pengurus) Lampirkan Copy
SK legalisasi KS. (PGRI, Pramuka, LPM, BPD, PNPM, Karang Taruna, Ketua RT, Ketua
RW, PKK, dharma wanita, dll)
23. Tugas tambahan ( guru kelas dianggap sebagai wali kelas dng skor 2/th)
KS termasuk tugas tambahan Lampirkan copy SK/S ket/bukti relevan dilegalisasi oleh
atasan. Wali kelas SD dilengkapi SK pembagian tugas tahun yang diajukan. KS, lampirkan
SK KS
24. Penghargaan di bidang pendidikan Copy SK legalisasi KS atau UPT untuk KS
25. Amplop kosong ukuran folio 10 buah
26. Materi Rp 6.000 1 buah
27. Pembungkus piagam asli (plastk bening ) Sesuai jumlah piagam / sertifikat asli


KETERANGAN LAIN
a. Berkas biasanya dikemas dalam kertas ukuran A4/kuarto
b. Validitas data menjadi tanggung jawab peserta
c. Disarankan untuk tidak melakukan pemalsuan bukti fisik dalam bentuk apapun.
d. Berkas biasanya dibuat rangkap 3.
e. Berkas asli akan dikembalikan apabila proses penilaian assessor telah selesai
f. Peserta supaya cermat menangkap informasi sebanyak mungkin, dan tidak terjebak pada
informasi yang menyesatkan.
g. Rayon sertifikasi kode 1 (Dinas Pendidikan ) Kabupaten Wonogiri adalah Rayon 41
Universitas Muhammadiyah Surakarta dengan Website. http://.sergur.ums.ac.id
h. Informasi tentang sertifikasi guru nasional dapat diakses melalui http://sertifikasiguru.org










http://santainyantai.blogspot.com .

Kamis, 25 Februari 2010

MBAH ULU

Heran juga, wong yang namanya nama alias jeneng alias tetenger, memiliki makna yang esensial. Lha nggak gimana hayo...!!! Namaku untuk ukuran tahun 65-an termasuk luar biasa. Maklumlah masa itu semboyan what is name belum begitu akrab di telinga. Waktu itu mau akrab gimana? Lha wong musik ngak ngik ngok-nya Koes Plus saja bisa membuat Koes Plus masuk penjara. Dimaklumi, semboyan Shakespeare yang kondang itu ndak banyak dikenal orang. Paling tidak di Indonesia lah.

Nah balik lagi ke jeneng. Simbok dan Bapakku memberiku nama SUYANTO SUSASTRO. Hebat kan!!! Lho? Nggak hebat gimana? Wong orang pakai nama paling cuma dua suku kata, Gimin, Simis, Kiman, Tumon, Jani, Giyem, Kijan, Parno, Suro, sedangkan aku, su-yan-to-su-sas-tro. Ada 6 suku kata. Apa ndak hebat, to? Konon nama itu merupakan hasil perenungan Eyang Kakung pada Sasi Suro melalui tapa brata ngebleng selama tiga hari tiga malam tanpa makan dan tanpa kena cahaya. Ngebleng-nya baru berakhir ketika Eyang kakung mendapatkan wangsit berupa kicauan burung pada pukul 04.00 dini hari. Anehnya, menurut cerita simbok, kicauan burung itu terdengar seperti cu-ca-to-cucato-cucato, begitu terus berkali-kali. Bahasa burung itulah yang kemudian diterjemahkan oleh Eyang Kakung menjadi suyanto susatro. Lho ...Kok bisa? Ya jelas bisa, to!!! Ngilmu bahasa burung khan ngilmu langka yang tidak sembarang prang mampu menerima. Jadi bejo-lah Eyang kakung mampu menterjemahkan wangsit suara burung tersebut menjadi nama.

Menurut Eyang, Suyanto Susastro artinya kepiwaian bersastra, berlagu seni atau wasis ing sastro, mentas ing ukara. Makna ini jelas akan membuat Eyang Kakung marah kalau dibantah!!!. Misalnya, waktu Lik Jamin, tetangga Eyang kakung, bertanya dan mengkritisi makna yang disampaikan Eyang Kakung yang katanya sak karepe dewe, digawe-gawe amrih mathuke, sekedar ngepaske. Walah ... Eyang marah luar biasa. Katanya,"Jamin, kowe ki maunya apa!! Bayi wingi sore kok nranyak sama orang tua. Wewaler, angger-angger kok ora dianggep bener!! Gledhisan, ora nganggo waton. Tetenger itu wahyune Gusti. Lho??? Gusti kok mbok protes nganggo pikiranmu sing cupet mung sak upet. Apa nyandhak nalarmu, Le?!!! Wis kono ndang mulih kono terus ngarit-ngarit suket buat ngasih makan kambingmu itu!!! Celelekan!!! Klejingan karo wong tuwek!!!
Lik Jamin sudah ndrodhok dicelathu Eyang kakung seperti itu. Lha, awalnya sih sekedhar guyonan, nggak tahunya Eyang Kakung malah abang mawinga-winga. Tentu saja Lik Jamin cep klakep terus klepat pulang. Jika masih disitu, walah?! Ngalamat kuping bakal ndak kuat nampani dukane Eyang Kakung.

Nah itulah namaku. Setelah waktu bergulir aku menjadi guru SD. Pekerjaan itulah yang kemudian merubah namaku. Perlahan tapi pasti orang-orang mulai memanggilku Pak Guru. Dan mungkin beberapa orang di sekitarku bahkan tidak tahu siapa namaku yang sebenarnya.

Alih nama yang kualami ternyata tidak berakhir begitu saja. Menjelang usia senja, mendekati pensiun dari guru. Saya bersama istri yang hanya berduaan di rumah, maklum anak-anak sudah iber dewe-dewe, mengambil pembantu namanya Kang Pokadi, dengan syarat dia harus mau bertempat di bangunan samping rumah induk. Nah, disinilah bencana ini bermula, yang membuat namaku menjadi makin hilang dari peredaran. Kasihan Eyang kakung yang telah ngebleng tiga hari tiga malam untuk menamaiku harus kalah sama anak kecil yang bernama Benu, anaknya Kang Pokadi.

Benu, lima tahun, anak pertama dan anak satu-satunya Kang Pokadi dengan Yu Gemi. Bedhes cilik ini memang punya aikiyu luar biasa untuk ukuran cah ndeso. Lidahnya masih cedal sehingga belum bisa melafalkan beberapa huruf dengan benar. Beberapa kata bahkan hilang huruf awalnya akibat cedalnya Benu, kayu berubah ayu, lanang berubah anang, gula berubah ula... Wis pokoke kalau bicara sak geleme cedhale dhewe.
Benu yang montok dan nggemeske, kendel, memang nyenengke. Beberapa orang tetangga kanan kiri lebih mudah akrab dengan Benu dari pada dengan Kang Pokadi atau Yu Gemi. Tidak heran kata-kata Benu menjadi ikon yang kemudian ditirukan oleh nom-noman atau tetangga kanan kiri.

Cedalnya Benu itulah yang kemudian memberikan babak baru dalam perjalanan namaku. Biasalah, keberanian Benu mudah akrab denganku. Kang Pokadi dan Yu Gemi mbasakke Benu dengan memanggilku Mbah Guru. Mbah merujuk ke usia yang telah senja dan guru sebutan umum yang dipakai oleh orang sekitar rumah ketika menyapaku. Namun dasar Benu, Bedhes elek sing pintere ngadubillah, sing ora iso ngomong nggenah. Kecedalannya dengan jenaka selalu menyebut MBAH ULU jika memanggilku. Pertama panggilan itu kuanggap biasa saja. Maklum Benu, bedhes elek sing pinter ngadubillah nek omong ora nggenah. Apa to salahnya anak kecil memanggilku Mbah Ulu. Biasa to??? Tapi ternyata hal itu menjadi luar biasa ketika minggu pagi saya masih thenger-thenger dekat gapura rumah menunggu bubur lemu lewat buat sarapan.

Yu Cenil, penjual bubur lemu, yang masih sueger, montok dan ayu, Minggu itu agak terlambat tidak seperti biasanya. Ya jelas ini dimaklumi. Minggu khan hari untuk refresh jadi banyak yang lebih memilih jajan pagi sambil lari-lari daripada repot masak sendiri. Dari kejauhan, sak kledhangan Yu Cenil sudah kelihatan. Kulitnya yang mengkilap karena keringat seperti terpantul cahaya merah pagi hari. Lha tenan. Jalannya memang nggak bisa disangsikan lagi. Yu Cenil pancen kemayu. itulah sebabnya maka buburnya laris manis. Kuatir kalau kehabisan bubur lemu, karena Cu Cenil dibajak kanan kiri sebelum sampai tempatku thenger-thenger, maka kulambaikan tangan untuk segera memerintahkan Yu Cenil mempercepat langkah. Nah, respon Yu Cenil pancen maremke ati. melihat lambaian tanganku, pertama dia mesti mesem ngguyu. Giginya kok bisa putih cemlorot gitu, ya? Mestinya Yu Cenil ini jadi iklan odol saja daripada jualan bubur lemu.

"Badhe sarapan, Mbah Ulu?" sapanya setelah dekat.
Jelas saya kaget dengan sapaan Yu Cenil ini. Wong ora udan ora angin kok seenaknya saja nyeluk jenenge wong.
" Mbah Ulu sapa to, Nil? Mbahmu apa!!! Karo wong tuwek kok gledhisan! Lho, Kok malah mesam-mesem, to?"
"Lho, Mbah Ulu...."
"Kok, Mbah Ulu maneh to?"
" Nggih sepurane Mbah Ulu? Nggih ampun duka to!? Cenil khan cuma ikutan orang orang yang manggil Mbah Ulu."
Sak klebatan saya membayangkan Benu, Bedhes elek sing pinter ngadubillah nek omong ora nggenah. Teringat ketika Benu selalu memanggil Mbah Ulu akibat cedalnya. Bedhes Elek ini ternyata memberikan virus pada orang-orang untuk mengubah namaku. Wah! Wah wah!!! Jan Bedhes ora nggenah tenan!!
"Pripun Mbah Ulu? Jadi beli sarapan bubur lemu ndak?"
"Iya...Iya!! Bungkus saja. Biar nanti saya makan di dalam saja."

Sampai siang, bubur lemu itu masih terbungkus daun pisang. Perut rasanya jadi mbedhedheg ngrasakke percakapan dengan Yu Cenil pagi. Miling-miling kalau-kalau si Bedhes Elek Benu kelihatan ternyata tidak tampak batang hidungnya. Rencananya, boleh saja bubur lemu itu untuk Benu sambil diinterogasi sejauh mana virus namaku itu telah tersebar. Tak sabar akhirnya saya lebih condong untuk melakukan investigasi lagsung di lapangan. Ya, paling tidak kayak Pansus Bank Century yang investigasi ke lapangan sambil nglencer sana sini mesti hasilnya tak pasti. Sembari melenggang saya mencoba mendekati beberapa orang tetanggaku yang berada di pinggiran jalan.
"Tindak pundi, Mbah Ulu?" sapa kang Poni basa-basi.
Mak jenggirat!!! Kaget ati saya. Atase kang Poni ini kalau ketemu mundhuk-mundhuk ndak berani kocap karena waktu nggundhuh duren belakang rumah tanpa nembung alias maling setahun yang lalu, cuma tak suruh njual terus hasilnya untuk beli beras buat anak bojone, kok sekarang malah klethasan berani-beraninya manggil saya Mbah Ulu.... Tapi dada ini tetap tak sabar-sabarke.
Ternyata mak jenggirat saya harus terulang sepanjang investigasi siang itu. Jan !!! Sodron tenan si Benu, bedhes elek sing pinter ngadubillah nek omong ora nggenah. Kok bisa-bisanya anak sekecil itu menebarkan virus yang mengalahkan tapa ngebleng Eyang kakung tiga hari tiga malam... Hasil investigasi ternyata positif. Seluruh tangga teparo, rumah kanan kiri telah terkena virusnya Benu...Kok bisa, tanpa senjata kimia si Benu, bedhes elek sing pinter ngadubillah nek omong ora nggenah, meng-epidemi-kan virus mewabah di seluruh lingkungan. Untungnya saya masih belum mengambil keputusan untuk menanggapi kejadian ini sebagai "kejadian yang luar biasa" sehingga perlu membuat situasi darurat yang mengharuskan saya mengambil langkah strategis gunamengatasi keadaanyang luas biasa itu.

Bayangkan!!! Misalnya itu sampeyan, apa ndak mbedegel nyang ati? Apa ndak mrekitik? Lha wong pusaka pemberian orang tua kok disepelekan sak geleme dhewe. Tapi jika digawe rame apa ndak lebih ngisin-isine lagi, Mbah Guru gegeran sama Benu, bedhes elek sing pinter ngadubillah nek omong ora nggenah, bocah cilik umur lima tahun... Bayangkan, coba !?
Jelas saya berada dalam situas kondisia not controla, jelas keadaan yang out of control. Saya dipepet untuk mau tidak mau harus mau, setuju tidak setuju harus setuju, kayak parlemennya Nero yang jelas obsolut mutlak 100% harus menerima tanpa tanya...

Gimana lagi?! Habis to pertimbangannya?! Ya, okelah kalau begitu...
Dan demikianlah ...Sampai kini saya harus legawa atas penyebaran virus dan intervensi privacy yang dilakukan oleh Benu.
Jadi dengan penuh keikhlasan saya perkenalkan nama saya MBAH ULU...
What is name????